Entropi dan Manusia

Berdasarkan hukum termodinamika kedua, kita dapat menyimpulkan bahwa segala sesuatu di alam semesta memiliki kecenderungan untuk menuju ketidakteraturan. Sebagai contoh, sebuah apel pada akhirnya akan menjadi busuk, kemudian benar-benar hilang wujud fisiknya, setidaknya jika dilihat dengan mata manusia. Proses pembusukan dan hilangnya wujud benda tersebut adalah bagian dari apa yang oleh para fisikawan disebut “entropi”. Entropi adalah indikator yang digunakan oleh manusia untuk merasakan bahwa waktu berjalan “maju”. Kita merasakan bahwa waktu berjalan “maju” dengan mengamati peningkatan ketidakteraturan (entropi) di sekitar kita.
Kerutan di wajah seiring usia, pembusukan makanan, dan halaman buku menguning seiring waktu adalah contoh entropi yang sedang bekerja. Manusia, sebagai bagian dari keluarga besar organisme, memiliki kemampuan unik untuk mengurangi entropi dalam sistem lokal mereka. Beberapa contoh adalah dengan mengkonsumsi makanan dan berolahraga. Tetapi untuk melakukan ini, kita harus meningkatkan tingkat entropi keseluruhan di alam semesta. Dengan mengkonsumsi makanan, misalnya pisang, kita meningkatkan total entropi alam semesta dengan menghancurkan integritas struktural pisang tersebut.
Sebagian orang berpendapat bahwa eksistensi manusia adalah untuk mempercepat entropi semesta. Dengan memiliki anak, kita melipatgandakan jumlah manusia, dan karenanya meningkatkan jumlah konsumsi makanan dan energi di semesta. Selain itu, dengan membuat teknologi yang semakin canggih, kita juga meningkatkan jumlah konsumsi energi. Dengan kata lain, manusia telah membantu alam semesta mempercepat proses menuju kehancuran semesta (entropi). Untungnya, peningkatan entropi semesta yang disebabkan oleh manusia, setidaknya untuk saat ini, sama sekali tidak signifikan.
Lebih lanjut, entropi bahkan mungkin merupakan sumber dari keinginan manusia untuk memperoleh capaian yang lebih tinggi dalam hal apapun yang mereka lakukan. Ketika manusia mencapai tingkat produksi yang lebih tinggi, mereka menghabiskan lebih banyak energi dan sumber daya. Hal ini berujung pada peningkatan entropi alam semesta.
Setelah memahami hal tersebut di atas, yang Penulis hendak soroti dalam artikel ini bukanlah signifikansi aktivitas manusia terhadap peningkatan entropi semesta. Penulis ingin menunjukkan kepada pembaca perihal kebingungan moral yang akan kita lihat ketika menghubungkan entropi dengan perilaku manusia. Konsep yang dipakai oleh Penulis dalam hal ini adalah humanisme, sebagai standar moral paling mutakhir dan relevan saat ini. konsep humanisme, pada prinsipnya, menetapkan bahwa segala yang kita lakukan dalam hidup harus meningkatkan agregat kebahagiaan umat manusia secara umum.
Saat membahas peningkatan kebahagiaan manusia, biasanya hal tersebut diartikan sebagai pendapatan per kapita yang lebih tinggi, teknologi lebih canggih yang mempermudah hidup, ketersediaan makanan dan air bersih, teknologi medis yang lebih baik, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut diharapkan mampu meningkatkan kebahagiaan manusia sekaligus memperpanjang umur mereka. Peningkatan kebahagiaan dan kelanggengan usia masih sejalan dengan entropi, karena kita akan menghabiskan lebih banyak energi dan sumber daya ketika kita memiliki akses yang lebih baik dan langgeng terhadap dua hal tersebut.
Sebagian orang sudah mencoba untuk meminimalkan dampak aktivitas manusia terhadap alam semesta – biasa disebut “lingkungan” dalam skala yang lebih kecil – dengan meningkatkan kesadaran tentang masalah lingkungan dan menciptakan teknologi yang lebih efisien. Dengan melakukan ini, mereka mentahbiskan dirinya sebagai pengikut setia entropi yang perkasa. Mereka mengeksploitasi keunikan manusia sebagai organisme untuk meminimalkan peningkatan entropi tidak hanya di tubuh mereka, tetapi juga di alam semesta. Dengan melakukan itu, mereka memperpanjang keberadaan peradaban manusia. Namun perlu dingat bahwa semakin panjang usia peradaban manusia, semakin pendeklah usia alam semesta.
Di sisi lain, ada pula orang-orang sesat di dunia ini. Mereka adalah orang-orang yang tidak setuju dengan dogma entropi untuk melestarikan kehidupan dan meningkatkan kebahagiaan untuk melanggengkan eksistensi manusia. Mereka adalah para pendukung perang. Mereka adalah orang-orang yang bersorak saat pemimpin dunia atau tokoh yang mengancam atau melecehkan negara lain dengan alasan apa pun, yang oleh karenanya dapat menyebabkan perang nuklir skala penuh. Mereka adalah orang-orang yang mendukung hancurnya peradaban manusia. Ketika kita melihat orang-orang ini dengan skala kosmos, mungkin merekalah “orang baik” yang sebenarnya. Mungkin mereka adalah versi manusia yang telah berevolusi lebih jauh, sehingga secara tidak sadar menginginkan alam semesta hidup lebih lama tanpa peradaban kita yang merusak.
Setelah melihat dua tipe manusia di atas, kebingungan moral muncul: yang manakah yang “baik”, mereka yang melestarikan peradaban manusia, atau mereka yang mempercepat kehancurannya demi melestarikan alam semesta? Penulis berpendapat bahwa hal tersebut tergantung pada perspektif, namun entropi yang perkasa mungkin memiliki satu kepentingan yang menguntungkan umat manusia. Ia ingin manusia melestarikan peradabannya, sehingga entropi dapat mendaur ulang alam semesta sedikit lebih cepat apabila ia melakukannya tanpa manusia.