Modul PPG - Konsep Dasar, Rasional, dan Landasan Ilmu Pendidikan
Saudara mahasiswa, bagaimana kabar Anda saat ini? Semoga Anda selalu sehat sehingga dapat mempelajari materi modul dengan baik. Saat ini Anda tengah
berada pada Kegiatan Belajar 1 dalam Modul 1 mata kuliah
Pedagogik. Kegiatan Belajar 1 akan
menyajikan materi terkait Konsep Dasar, Rasional, dan Landasan Ilmu Pendidikan. Bagaimana, Anda sudah
siap ? Bagus! Saudara mahasiswa, kita ketahui
bersama bahwa praktik pendidikan yang diperankan oleh pendidik adalah dalam rangka memfasilitasi peserta didik
agar mampu mewujudkan dirinya sesuai dengan
kodrat dan martabat kemanusiaannya. Dengan demikian sebagai pendidik professional Anda perlu melakukan segala
tindakan yang terarah kepada tujuan, yaitu
agar peserta didik mampu melaksanakan berbagai peranan sesuai dengan perannya berdasarkan nilai-nilai dan
norma-norma yang diakui dalam masyarakat. Ingat
bahwa praktik pendidikan adalah upaya
memanusiakan manusia, bersifat normatif dan harus dapat dipertanggung jawabkan.
Sehubungan dengan hal tersebut,
kegiatan belajar 1 ini menyampaikan Konsep, rasional dan landasan ilmu pendidikan sebagai
bekal bagi pendidik
profesional dalam melaksanakan praktik pendidikan. Sebagai pendidik
profesional melaksanakan praktik
pendidikan tidaklah boleh dilaksanakan secara sembarangan tanpa landasan yang jelas.
Namun, pelaksanaannya harus didasari konsep
yang kuat dan terencana. Artinya, praktik
pendidikan haruslah memiliki suatu landasan yang kokoh, jelas dan tepat. Landasan pendidikan memberikan pondasi
yang kuat bagi pendidik profesional untuk menjalankan perannya
sebagai pendidik sehingga
dapat menentukan tujuan yang jelas dan terarah, menetapkan isi kurikulum yang tepat dan mampu melaksanakan pembelajaran yang menyenangkan sebagai upaya menjadikan peserta didik sebagai individu yang utuh dan mencapai hakikat tujuan
pendidikan. Penguasaan Anda terhadap materi dalam Kegiatan
Belajar 1 ini, akan menjadi titik tolak dalam menetapkan suatu tujuan pendidikan, memilih isi pendidikan dan menentukan cara-cara
yang baik dalam pendidikan. Dengan demikian
praktik pendidikan Anda menjadi mantap, sesuai dengan fungsi dan sifatnya serta betul-betul dapat dipertanggungjawabkan.
Saudara mahasiswa, agar Anda dapat
menguasai materi Kegiatan Belajar 1 ini dengan baik dan berhasil mencapai
capaian pembelajaran yang telah dirumuskan, maka Anda perlu
ikuti petunjuk belajar berikut ini:
a. Sebelum membaca
materi modul dalam
KB 1 ini, renungkan terlebih
dahulu apa yang menjadi capaian pembelajaran dalam
modul agar terbangun rasa tanggung jawab dan kesepenuhhatian dalam belajar.
a.
Bacalah materi modul dengan cermat
dan seksama, serta tambahkan catatan- catatan seperlunya untuk membantu ingatan
Anda.
b.
Cermati dan kerjakan tugas yang diberikan dalam modul dengan sungguh- sungguh. Jangan lupa gunakan pengetahuan
dan pengalaman yang telah Anda miliki sebelumnya.
c.
Kerjakan tes formatif yang
diberikan seoptimal mungkin dan gunakan rambu-
rambu jawaban untuk mengetahui seberapa tingi ketuntasan belajar Anda.
d.
Jangan lupa membuat catatan
khusus yang Anda pandang penting
selama mempelajari isi modul.
Selamat belajar
dan semoga Anda berhasil dengan
baik……!
1.
Capaian Pembelajaran
Saudara
mahsiswa, Modul 1 Kegiatan Belajar
1 ini membahas materi tentang
Konsep Dasar, Rasional,
dan Landasan Ilmu Pendidikan. Materi
tersebut diuraikan secara rinci agar dapat memfasilitasi
Anda dalam upaya mencapai kemampuan menerapkan
berbagai landasan ilmu pendidikan dalam praktik pendidikan untuk mendukung tugas Anda sebagai pendidik yang
memesona yang dilandasi sikap cinta
tanah air, berwibawa, tegas, disiplin, penuh panggilan jiwa, samapta, disertai dengan
jiwa kesepenuhhatian dan
kemurahhatian.
2.
Sub Capaian Pembelajaran
Adapun sub capaian pembelajaran untuk mendukung capaian
pembelajaran tersebut di atas adalah:
a.
Menjelaskan konsep dasar dan rasional perlunya
landasan pendidikan sebagai
dasar dalam praktik
pendidikan.
b.
Menjelaskan berbagai landasan
ilmu pendidikan
c.
Menerapkan berbagai landasan
ilmu pendidikan dalam praktik pendidikan
3.
Pokok-pokok Materi
Adapun pokok-pokok materi yang akan disampaikan dalam kegiatan belajar
1 dalam modul 1 mata kuliah Pedagogik ini adalah:
a. Konsep dasar,
rasional, ilmu pendidikan
b.
Landasan-landasan
ilmu pendidikan
c.
Penerapan berbagai landasan
ilmu pendidikan dalam
praktik pendidkkan
4.
Uraian materi
a.
Konsep Dasar dan Rasional
Ilmu Pendidikan
Saudara
Mahasiswa, sebelum kita mengkaji tentang
berbagai landasan pendidikan, terlebih dahulu kita perlu
membahas konsep pendidikan dan rasional perlunya pendidikan untuk memudahkan kita memahami bahasan
selanjutnya.
Berbicara tentang pendidikan tidak dapat terlepas
dari pembahasan tentang
manusia yang memiliki
kedudukan sebagai subjek dalam pendidikan. Sebagai subjek pendidikan, manusia memiliki banyak definisi salah satunya dijelaskan oleh Notonagoro yang mendefinisikan manusia
sebagai makhluk monopluralis sekaligus monodualis
(Dwi Siswoyo, 2007: 46-47). Sebagai makhluk monopluralis berarti manusia itu mempunyai banyak unsur kodrat
(plural) yaitu jiwa dan raga, namun merupakan
satu kesatuan (mono). Di sisi lain, manusia juga sebagai makhluk monodualis yaitu makhluk yang terdiri dari dua sifat yaitu sebagai
makhluk pribadi dan sosial
(dualis), tetapi juga merupakan
kesatuan yang utuh (mono).
Driyarkara (1969:7) mejelaskan bahwa
manusia merupakan makhluk yang berhadapan dan menghadapi dirinya
sendiri, bisa bersatu
dan bisa mengambil
jarak dengan dirinya sendiri.
Manusia merupakan makhluk yang dapat merubah dirinya melalui suatu keadaan dan dapat pula merubah keadaan melalui
perannya. Oleh karena itu, manusia
memiliki kemampuan memberikan aksi dan reaksi terhadap situasi atau alam
kondrat yang dihadapinya.
Sebagai individu, manusia mempunyai
perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Hal itulah yang menjadikan manusia
bersifat unik. Perbedaan
ini dapat kita lihat dari berbagai aspek diantaranya berkaitan
dengan postur tubuhnya,
kemampuan berpikirnya, motivasinya, minat dan bakatnya, dunianya,
cita-citanya, pretasinya, hingga
peran sosialnya, dan lain sebagainya. Perbedaan itulah yang menjadikan manusia memiliki karakteristik
yang khas yang mencerminkan sifat kemanusiaanya.
Adapun hakekat manusia menurut Sumantri & Yatimah (2015: 3- 4) dapat dilihat
melalui beberapa aspek, yaitu: 1) berdasarkan asal-usulnya sebagai makhluk
Tuhan, 2) struktur metafisiknya manusia sebagai kesatuan jasmani dan rohani, serta 3) karakteristik dan makna
eksistensinya di dunia yang bisa dilihat sebagai
makhluk individu, makhluk sosial, makhluk berbudaya, makhluk susila, dan makhluk
beragama.
Pada
prinsipnya untuk mempertahankan eksistensinya manusia selalu
terlibat dengan fenomena
pendidikan baik disadari ataupun tidak, bahkan Syarifudin dan Kurniasih (2014: 3) memberikan definisi
pendidikan adalah hidup itu sendiri. Hal tersebut memiliki
makna bahwa manusia
yang hidup pasti akan memperoleh segala
pengalaman (belajar) dari berbagai lingkungan yang
berlangsung sepanjang hayat dan
berpengaruh positif bagi perkembangannya. Lebih lanjut Dwi Siswoyo dkk (2007: 37) menjelaskan bahwa pendidikan
itu terselenggara dalam rangka untuk mengembangkan segenap
potensi kemanusiaan ke arah yang positif sehingga
manusia menjadi
makhluk yang berbudaya. Di sisi lain, manusia memiliki
tanggung jawab untuk membina masyarakat, memelihara alam lingkungan, membina kerukunan hidup bersama, dan memelihara martabat
kemanusiaannya (human dignity).
Sifat-sifat positif kemanusiaan itu harus terus diwariskan oleh manusia secara turun-temurun, sehingga
sepatutnya dalam diri manusia perlu dimiliki kemampuan mengasuh, mengajar, dan mendidik
apalagi jika manusia tersebut adalah seorang
pendidik.
Pendidikan diartikan sebagai bantuan yang diberikan oleh orang dewasa kepada orang yang belum dewasa, agar orang tersebut mencapai
kedewasaan (Winkel;2012). Dalam bahasa Yunani pendidikan juga dikenal dengan istilah “Paedagogiek” (pedagogik) yang artinya
ilmu menuntun anak. Pedagogik juga berarti
teori mendidik yang membahas apa dan bagaimana mendidik yang sebaik- baiknya. Carter V. Good (Syam dkk, 2003)
menjelaskan istilah Pedagogy atau pendidikan
dalam dua hal, yang pertama pendidikan adalah seni, praktek, atau profesi
pengajaran. Kedua, pendidikan adalah ilmu yang sistematis atau pengajaran yang berhubungan dengan prinsip-prinsip
dan metode mengajar, pengawasan dan pembimbingan peserta
didik. Kegiatan mendidik
diartikan sebagai upaya membantu
seseorang untuk menguasai
aneka pengetahuan, ketrampilan, sikap, nilai yang diwarisi dari keluarga dan masyarakat (Arif
Rohman, 2011:5). Mendidik
juga bisa diartikan sebagai
tindakan merealisasikan potensi
seseorang yang dibawa sewaktu lahir. Pendidikan sendiri
berlangsung melalui dan di dalam pergaulan, namun
tidak semua pergaulan bersifat mendidik atau dapat dikatakan bersifat
pedagogik. Pergaulan akan bersifat pedagogik apabila pendidik atau orang
dewasa bertujuan memberikan pengaruh positif kepada seseorang dan pendidik juga memiliki wewenang
terhadap orang tersebut.
Tahukan
Anda bahwa kemampuan
mendidik tidak serta merta dimiliki
dengan sendirinya? Untuk memiliki kemampuan
mendidik tersebut diperlukan
penguasaan konsep yang benar tentang
kegiatan mendidikan disertai
dengan kemampuan melakukan praktiknya. Oleh karena
itu, ilmu pendidikan hadir sebagai ilmu yang khusus mempelajari fenomena
pendidikan. Arif Rohman (2011: 13) mendefinisikan ilmu pendidikan sebagai
ilmu yang mempelajari suasana dan proses
pendidikan yang berusaha
memecahkan masalah yang terjadi di dalamnya sehingga
mampu menawarkan pilihan
tindakan mendidik yang efektif. Syarifudin (2006: 41) mendefinisikan ilmu pendidikan sebagai
sistem pengetahuan tentang fenomena pendidikan yang dihasilkan melalui
penelitian dengan menggunakan metode ilmiah. Ilmu pendidikan juga dapat dikatakan
sebagai seni, karena dalam penerapannya melibatkan emosi,
kreatifitas, dan dimensi-dimensi kemanusiaan
lainnya selain hal-hal metodis seperti prinsip dan aturan dalam mendidik
dan mengasuh.
Berkaitan dengan kemampuan mendidik di
Indonesia telah diatur dalam UU no
14 tahun 2005 tentang guru dan dosen bahwa salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik adalah kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan pemahaman
terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan
pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimilikinya. Melalui kompetensi
ini pendidik dituntut
untuk memiliki kemampuan
dan trampil dalam melihat karakteristik peserta didik dari berbagai aspek
kehidupan, baik itu moral, emosional maupun intelektualnya. Implikasi dari kemampuan ini tentunya
dpat terlihat dari kemampuan pendidik
dalam menguasai prinsip-prinsip belajar mulai dari teori belajar hingga penguasaan bahan ajar.
Mengapa kompetensi pedagogik menjadi
kompetensi yang penting dalam profesi sebagai
pendidik? Hal tersebut
dikarenakan kompetensi pedagogik
merupakan kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan memilih
berbagai tindakan yang paling baik untuk membantu
perkembangan peserta didik. Kompetensi pedagogik
akan menghindarkan seorang
pendidik profesional melakukan kegiatan pembelajaran yang
bersifat monoton dan bersifat demagogik, dan
membuat peserta didik kehilangan minat serta daya serap dan konsentrasi belajarnya.
Saudara mahasiswa, dalam rangka
menghadapi era disrupsi abad 21 dan revolusi industri
4.0 seorang pendidik
dituntut untuk mampu beradaptasi menghadapi perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuam yang luar
biasa sehingga diperlukan pendidik
yang mampu bersaing
bukan hanya kepandaian tetapi kreativitas dan kecerdasan bertindak. Guru yang kompeten
adalah guru yang menguasai
softskill atau pandai berteori saja,
melainkan juga kecakapan hardskill. Adanya keseimbangan kompetensi tersebut menjadikan guru sebagai agen perubahan
mampu menyelesaikan masalah pendidikan atau pembelajaran yang dihadapi sebagai dampak kemajuan zaman.
Pendidik yang mampu menghadapi tantangan
tersebut adalah pendidik yang profesional yang memiliki kualifikasi akademik
dan memiliki kompetensi-kompetensi antara lain kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial
yang berkualitas dan seimbang antara softskill
dan hardskill. Untuk mempelajari lebih lanjut materi tentang konsep dan
rasional landasan pendidikan Anda dapat mengakses link berikut: http://bit.ly/36IURE7
b.
Landasan Ilmu Pendidikan
Setelah Anda memahami konsep dan rasional
ilmu pendidikan, pembahasan
kita selanjutnya adalah
mengenai landasan ilmu pendidikan. Anda pasti tidak
asing lagi dengan kata “landasan” bukan? landasan mengandung arti sebagai dasar atau tumpuan. Istilah landasan dikenal
pula sebagai fondasi.
Mengacu pada arti kata tersebut maka dapat dipahami
bahwa landasan merupakan
suatu dasar pijakan
atau fondasi tempat berdirinya sesuatu.
Berdasarkan sifatnya, landasan
dibedakan menjadi dua jenis yaitu landasan yang bersifat material dan konseptual (Robandi, 2005: 1). Landasan material
lebih bersifat fisik atau berwujud
seperti sarana prasarana, peserta didik, dan lingkungan, sedangkan landasan konseptual lebih
bersifat asumsi atau teori-teori, contohnya adalah UUD 1945 dan teori pendidikan. Dengan berpegang teguh pada landasan
pendidikan yang kokoh, setidaknya kesalahan-kesalahan konseptual dalam pendidikan yang merugikan dapat
dihindari, sehingga pada praktiknya pendidikan dapat berjalan sebagaimana fungsinya dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam praktik
pendidikan, sebagai pendidik
profesional semestinya
mampu melaksanakan peranan sesuai semboyan “tut wuri handayani”. Untuk itu para guru idealnya memahami dan meyakini
asumsi-asumsi dari semboyan
tersebut. Sebab jika tidak, sekalipun tampaknya pendidik tersebut seperti
melaksanakan peranan sesuai semboyan “tut wuri handayani” namun perbuatannya tidak mencerminkan daris emboyan tersebut.
Bahkan mungkin bersikap
bertentangan, misalnya pendidik
tidak menghargai perbedaan
dan keunikan yang dimiliki
oleh peseta didik dan merasa sebagai penguasa tunggal dalam pembelajaran. Sebaliknya, jika pendidik memahami dan
meyakini asumsi- asumsi dalam
semboyan “tut wuri handayani”, yaitu kodrat alam dan kebebasan siswa, maka pendidik akan dengan sadar dan
mantap melaksanakan peranannya. Berdasarkan
contoh tersebut jelas kiranya bahwa asumsi atau landasan pendidikan akan
berfungsi sebagai titik tolak atau acuan bagi para pendidik
professional dalam melaksanakan praktik pendidikan. Pada
bagian ini, Anda akan belajar mengenai macam-macam
landasan konseptual ilmu pendidikan yang terdiri dari landasan filosofis, landasan empiris, yuridis,
dan landasan religi.
1)
Landasan Filosofis
Landasan filosofis pendidikan adalah pandangan-pandangan
yang bersumber dari filsafat
pendidikan mengenai hakikat manusia, hakikat
ilmu, nilai serta perilaku yang dinilai baik dan dijalankan setiap
lembaga pendidikan. Filosofis artinya
berdasarkan filsafat pendidikan (Umar & Sulo
2010: 97). Filsafat (philosophy) berasal
dari kata philos dan shopia.
Philos berarti cinta dan shopia berarti kebijaksanaan,
pengetahuan dan hikmah dalam Rukiyati (2015: 1). Filsafat
menelaah sesuatu secara radikal, menyeluruh dan konseptual yang menghasilkan konsepsi-
konsepsi mengenai kehidupan
dan dunia. Dalam pendidikan yang menjadi pokok utama adalah manusia, maka landasan
filosofis pendidikan adalah untuk menjawab
apa sebenarnya hakikat
manusia. Berdasarkan sudut
pandang pedagogik, sebagaimana dikemukakan oleh M.J Langeveld (1980) pendidikan berlangsung dalam pergaulan antara orang dewasa dengan anak atau orang yang belum
dewasa dalam suatu lingkungan. Anak atau orang yang belum dewasa adalah
sebagai sesuatu “kemungkinan”
yang pada dasarnya
baik. Menurut Langeveld
dalam perjalanannya manusia bisa menjadi baik atau tidak baik,
sehingga pendidikanlah yang memiliki andil untuk menjadikannya baik.
Salah satu tujuan pendidikan adalah
untuk mencapai kepribadian individu yang lebih baik (pedagogik) dan ke arah yang positif.
Pendidikan sama sekali bukan untuk merusak kepribadian anak atau membawa
mereka ke arah yang negatif
seperti memberi bekal pengetahuan atau keterampilan bagaimana menjadi penjahat, pencuri
dan sebagainya (demagogik). Teori- teori pendidikan seperti essensialisme, behaviorsisme, perenialisme, progresivisme,
rekronstruktivisme dan humanisme merupakan teori yang berdasarkan pada filsasat tertentu yang akan mempengaruhi konsep
dan praktik pendidikan (Umar & Sulo
2010: 88).
Esensialisme merupakan mahzab filsafat
pendidikan yang menerapkan prinsip idealisme dan
realisme secara eklektis. Berdasarkan eklektisme tersebut
maka esensialisme menitik-beratkan penerapan prinsip-prinsip
idealisme atau realisme dengan tidak meleburkan prinsip- prinsipnya. Filsafat idealisme memberikan dasar tinjauan yang
realistis seperti dalam bidang matematika, karena matematika adalah alat menghitung dari apa-apa yang riil,
materiil dan nyata.
Perenialisme hampir sama dengan essensialisme, tetapi lebih menekankan pada keabadian atau ketetapan atau kenikmatan
yaitu hal-hal yang ada sepanjang
masa (Imam Barnadib
1988:34). Perenialisme mementingkan hal-hal berikut: (a) pendidikan yang abadi; (b) inti pendidikan yaitu mengembangkan keunikan
manusia yaitu kemampuan berfikir; (c)
tujuan belajar yaitu untuk mengenal kebenaran abadi dan universal; (d) pendidikan merupakan persiapan bagi hidup yang sebenarnya;
(c) kebenaran abadi diajarkan melalui pelajaran dasar yang mencakup
bahasa, matematika, logika
dan IPA dan Sejarah.
Progresivisme yaitu perubahan untuk maju. Manusia
akan mengalami perkembangan apabila berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya berdasarkan pemikiran. Progresivisme atau gerakan pendidikan
progresif mengembangkan teori pendidikan yang berdasar pada
beberapa prinsip. Progresivisme
menggunakan prinsip pendidikan sebagai berikut :
(a)
Proses pendidikan ditemukan dari
asal, tujuan dan maksud yang ada pada
siswa termasuk di dalamnya minat siswa; (b) siswa itu aktif bukan pasif; (c) peran guru sebagai penasehat,
pemberi petunjuk, dan mengikuti keinginan siswa, bukan otoriter
dan direktur di kelas; (d) sekolah merupakan
bentuk kecil dari sebuah masyarakat; (e) aktifitas kelas berpusat pada problem solving bukan
mengajarkan berbagai mata pelajaran; (f) suasana sosial kelas kooperatif
dan demokratis.
Rekonstruksionalisme adalah suatu
kelanjutan yang logis dari cara berpikir
progesif dalam pendidikan. Individu tidak hanya belajar tentang pengalaman-pengalaman kemasyarakatan masa kini di sekolah tetapi haruslah mempelopori masyarakat ke arah masyarakat baru yang diinginkan. Dalam pengertian lain,
rekonstruksionisme adalah mahzab filsafat
pendidikan yang menempatkan sekolah atau lembaga pendidikan sebagai
pelopor perubahan masyarakat.
Behaviorisme memiliki beberapa akar atau
sumber ideologi atau filsafat yaitu realisme dan positivisme. Behaviorisme pendidikan memandang
perilaku siswa ditentukan oleh stimulus dan respon. Tokoh dari konsep ini adalah Pavlov,
Skinner dan Thorndike. Humanisme merupakan
kelanjutan dari prinsip progresivisme karena telah menganut banyak prinsip dari aliran tersebut
seperti pendidikan yang berpusat pada siswa, guru tidak otoriter fokus terhadap aktivitas dan partisipasi siswa.
Pancasila sebagaimana yang dirumuskan
dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan
landasan filosofis pendidikan Indonesia (Arif Rohman, 2013). Hakikat hidup Bangsa Indonesia adalah berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa dan perjuangan yang
didorong oleh keinginan luhur untuk mencapai
dan mengisi kemerdekaan, selanjutnya yang menjadi keinginan luhur
Bangsa Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 2
Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang
“Sistem Pendidikan Nasional”
menjelaskan bahwa
pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Tujuan pendidikan Bangsa Indonesia yaitu
pembentukan manusia Indonesia yang ideal yaitu manusia seutuhnya
yang diwarnai oleh sila-sila Pancasila. Manusia ideal adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesejahteraan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri
serta memiliki rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan ini mengoperasionalkan manusia Indonesia seutuhnya dan juga
mengoperasionalkan wujud sila- sila dalam diri peserta
didik. Perlu ditegaskan bahwa pengamalan Pancasila
dalam bidang pendidikan seharusnya menyeluruh dan utuh mencerminkan lima sila dalam Pancasila
sebagai yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Sedangkan ketetapan MPR RI No II/1978
tentang Pedoman Penghayatan
Pengamalan Pancasila menegaskan pula bahwa pancasila
itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa
Indonesia dan dasar Negara Republik Indonesia.
Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud Bangsa
Indonesia dan masyarakat yang dianggap baik. Sumber dari seluruh
sumber nilai yang diyakini menjadi pangkal serta bermuaranya setiap keputusan dan tindakan dalam pendidikan. Dengan kata lain, pancasila sebagai sumber sistem nilai dalam
pendidikan.
Seperti kita ketahui bahwa pendidikan
itu memiliki objek telaah, bertujuan, memiliki kegiatan dan metode, yang secara detail
dibahas dalam filsafat ontologi, aksiologi dan
epistemologi. Secara ontologi pendidikan memiliki
objek telaah yang riil yaitu manusia. Ontologi sendiri diartikan sebagai suatu cabang filsafat atau ilmu
yang mempelajari suatu yang ada atau berwujud
berdasarkan logika sehigga
dapat diterima oleh akal manusia
yang bersifat rasional
dapat difikirkan dan sudah terbukti
keabsahaanya. Aspek ontologi
dari pendidikan haruslah
diuraikan secara
metodis, sistematis, koheren,
rasional, komprehensif, radikal,
serta universal.
Jika dilihat dari sudut pandang
filsafat aksiologi, pendidikan bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan ke
arah yang positif. Aksiologi sendiri
dapat diartikan sebagai
ilmu yang mempelajari tentang tujuan ilmu
pengetahuan atau hakikat dan manfaat yang
sebenarnya dari pengetahuan. Aksiologi juga dipahami sebagai teori nilai yang menggunakan penilaian etika
dan estetika. Etika berfokus pada perilaku,
norma dan adat istiadat manusia, sedangkan estetika membahas tentang
nilai keindahan. Suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat
selaras serta berpola
baik melainkan harus juga mempunyai
kepribadian.
Epistemologi merupakan bagian dari
filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber,
metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Objek material epistimologi adalah pengetahuan, sedangkan objek formalnya adalah hakekat pengetahuan. Landasan epistimologi pendidikan adalah pandangan-pandangan yang bersumber dari cabang filsafat epistimologi yang disebut juga
teori mengetahui dan pengetahuan (Kadir,
2015). Epistimologi erat kaitannya dengan pendidikan khususnya untuk
kegiatan belajar mengajar
di kelas. Epistimologi membahas konsep- konsep dasar yang sangat umum dari proses
mengetahui sehingga erat kaitannya
dengan metode pengajaran dan pembelajaran.
Guru-guru di dalam kelas memberikan
berbagai jenis pengetahuan sesuai dengan disiplin ilmunya
masing-masing. Dalam praktik
pembelajaran alangkah baiknya apabila guru mengetahui berbagai jenis pengetahuan yang diberikannya, apa sumber
pengetahuan tersebut dan bagaimana
tingkat kepercayaan terhadap pengetahuan tersebut. Hal ini akan membantu guru untuk menyeleksi bahan
ajar dan penekananya pada materi tertentu dalam mengajar.
Terdapat empat jenis pengetahuan menurut
taksonomi Bloom (Lorin
W Anderson & David R. Krathwohl, 2010). Jenis-jenis pengetahuan
tersebut meliputi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dan metakognitif.
Pengetahuan faktual meliputi elemen-elemen dasar yang harus diketahui siswa ketika akan mempelajari disiplin
ilmu atau menyelesaikan masalah dalam disiplin ilmu
tersebut. Pengetahuan faktual terdiri dari dua sub jenis: (a) Pengetahuan tentang
terminologi. Pengetahuan ini
melingkupi pengetahuan tentang label dan simbol verbal dan nonverbal (misalnya, kata, angka, tanda dan gambar),
(b) Pengetahuan tentang detail-detail dan elemen-elemen
yang spesifik. Pengetahuan ini merupakan
pengetahuan tentang peristiwa, lokasi, orang, tanggal, sumber informasi dan semacamnya. Pengetahuan ini meliputi informasi
yang mendetail dan spesifik.
Pengetahuan konseptual mencakup
pengetahuan tentang kategori, klasifikasi
dan hubungan antar dua atau lebih kategori atau klasifikasi pengetahuan yang lebih kompleks dan
tertata. Pengetahuan konseptual meliputi
skema, model mental, atau teori yang implisit atau eksplisit dalam
beragam model psikologi kognitif.
Pengetahuan konseptual terdiri
dari tiga sub jenis: (a) Pengetahuan tentang
klasifikasi dan kategori. Pengetahuan ini meliputi
kategori, kelas, divisi dan susunan
yang spesifik dalam disiplin-disiplin
ilmu. Perlunya klasifikasi dan kategori dapat digunakan untuk menstrukturkan dan mensistematisasikan fenomena.
Pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori lebih umum dan sering
lebih abstrak daripada pengetahuan tentang terminologi dan fakta-fakta yang spesifik.
(b)
Pengetahuan tentang prinsip dan
generalisasi. Prinsip dan generalisasi dibentuk oleh klasifikasi dan kategori. Umumnya
merupakan bagian yang dominan dalam sebuah disiplin
ilmu dan digunakan
untuk mengkaji fenomena
atau menyelesaikan masalah-masalah dalam disiplin ilmu tersebut. pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi mencakup
pengetahuan tentang abstraksi-abstraksi tertentu yang meringkas hasil- hasil pengamatan terhadap
suatu fenomena. (c) Pengetahuan tentang
teori, model, dan struktur. Pengetahuan ini meliputi pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi serta antara keduanya
yang menghadirkan pandangan
yang jelas, utuh dan sistemik tentang sebuah fenomena,
masalah, atau materi kajian yang kompleks.
Pengetahuan tentang teori, model, dan struktur mencakup
pengatahuan tentang berbagai
paradigma, epistemologi, teori dan model yang digunakan dalam disipin-disiplin ilmu
untuk mendeskripsikan, memahami,
menjelaskan dan memprediksi fenomena.
Pengetahuan prosedural meliputi bagaimana melakukan sesuatu, mempraktikkan metode-metode penelitian, dan kriteriakriteria untuk menggunakan
ketrampilan, algoritma, teknik dan metode. Pengetahuan prosedural bergulat dengan pertanyaan “bagaimana”, dengan kata
lain pengetahuan prosedural merupakan
pengetahuan tentang beragam proses. Pada
pengetahuan ini terdiri dari tiga subjenis: (a) Pengetahuan tentang keterampilan dalam bidang tertentu
dan algoritme. (b) Pengetahuan tentan
teknik dan metode dalam bidang tertentu. Pengetahuan ini mencakup
pengetahuan yang umumnya
merupakan hasil konsensus, kesepakatan atu ketentuan dalam disiplin ilmu, bukan
hasil pengamatan atau eksperimen atau
penemuan langsung. Pada umumnya pengetahuan ini menunjukkan bagimana para ilmuan dalam bidang mereka
berpikir dan menyelesaikan masalah-masalah,
bukan hasil penyelesaian masalah atau pemikiran. (c) Pengetahuan tentang kriteria
untuk menentukan kapan harus menggunakan prosedur yang tepat.
Pengetahuan metakognitif meliputi pengetahuan tentang
kognisi secara umum dan kesadaran
dan pengeahuan tentang
kognisi diri sendiri.
Pada pengetahuan ini meliputi tiga subjenis.
(a) Pengetahuan strategis. Pengetahuan strategis merupakan
pengetahuan perihal strategi-strategi
belajar dan berpikir serta pemecahan masalah.
Pengetahuan ini mencakup
strategi-strategi umum umum untuk menyelesaikan masalah (problem solving)
dan berpikir. (b) Pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif. (c) Pengetahuan diri. Pengetahuan ini mencakup pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri sendiri dalam kaitannya kognisi
dan belajar.
2)
Landasan Yuridis
Landasan yuridis pendidikan adalah aspek-aspek hukum yang mendasari
dan melandasi penyelenggaraan pendidikan (Arif Rohman,
2013). Pendidikan tidak berlangsung dalam ruang hampa melainkan ada dalam lingkungan masyarakat tertentu
dengan norma dan budaya yang melekat di dalamnya. Oleh karena itu, pendidikan melekat
pada masyarakat, kemudian
masyarakat tersebut menginginkan pendidikan yang sesuai dengan latar belakangnya. Supaya pendidikan tidak melenceng
dari jalurnya maka perlu diatur dalam regulasi yang berlaku di masyarakat/negara. Sistem pendidikan di
Indonesia diatur oleh Undang- Undang Dasar 1945 yang kemudian dijabarkan dalam peraturan-peraturan hukum lainnya seperti,
Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia, ketetapan MPR. Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden dan peraturan pelaksana lainnya seperti
Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan
lain-lain. Aturan sistem pendidikan tersebut tetap didasarkan pada falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila.
Berikut ini beberapa landasan hukum sistem pendidikan di Indonesia (Hasbullah, 2008):
a)
Pasal 31 UUD 1945 tentang Pendidikan Nasional
(1)
Ayat 1 menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
(2)
Ayat 2 menyatakan bahwa setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3)
Ayat 3 menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan ketaqwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
(4)
Ayat 4 menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD
untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5)
Ayat 5 menyatakan bahwa pemerintah memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama
dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia
b)
Undang-Undang tentang
pokok pendidikan dan kebudayaan
(1)
UU No 20 Tahun 2003 Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 1 dan 2
(a)
Ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses
pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa
dan negara.
(b)
Ayat 2 menyatakan bahwa pendidikan nasional
ialah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1045 yang berakar pada nilai-nilai
agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
(2)
UU
No 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen.
Undang-undang ini memuat 84
pasal tentang ketentuan profesi guru dan dosen di Indonesia
(3) UU No 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
c)
Peraturan Pemerintah
(1)
Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2015 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP).
(2)
Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2006 tentang standar
Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
(3)
Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2006 Tentang Standar
Kompetensi Lulusan.
(4) Peraturan Pemerintah No 74 Tahun
2008 Tentang Guru.
(5) Peraturan Menteri
No. 13 Tahun 2007 Tentang
Kepala Sekolah.
(6)
Peraturan Menteri No 16 Tahun 2007 dan No 32 Tahun 2008 tentang
Guru.
(7)
Peraturan Menteri No 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan.
(8) Peraturan Menteri
No 20 Tahun 2007 tentang
Standar Penilaian.
(9) Peraturan Menteri No 24 Tahun 2007 dan Permen No. 33 Tahun 2008
tentang Standar Sarana dan Prasarana.
(10) Peraturan Menteri
No 41 Tahun 2007 tentang
Standar Proses.
(11) Peraturan Menteri
No 47 Tahun 2008 tentang
Standar Isi.
(12) Peraturan Menteri
No 24 Tahun 2008 tentang
TU.
(13) Peraturan Menteri
No 25 Tahun 2008 tentang
Perpustakaan.
(14) Peraturan Menteri
No 26 Tahun 2008 tentang Laboratorium.
3)
Landasan Empiris
a)
Landasan Psikologis
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari
gejala kejiwaan yang ditampakkan
dalam bentuk perilaku baik manusia ataupun hewan, yang pemanfaatannya untuk kepentingan individu atau manusia baik disadari
ataupun tidak, yang diperoleh melalui
langkah-langkah ilmiah
tertentu serta mempelajari penerapan dasar-dasar atau prinsip- prinsip, metode, teknik, dan pendekatan
psikologis untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah dalam pendidikan (Santrock, 2017). Proses kegiatan pendidikan melibatkan kegiatan yang menyangkut interaksi
kejiwaan antara pendidik
dan peserta didik
dalam suasana nilai- nilai budaya suatu masyarakat yang didasarkan pada nilia-nilai kemanusiaan. Pendidikan
selalu melibatkan aspek- aspek yang
tidak dipisahkan satu sama lain yaitu aspek kejiwaan, kebudayaan, kemasyarakatan, norma-norma, dan kemanusiaan.
Landasan psikologi dalam pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari studi ilmiah tentang
kehidupan manusia pada umumnya serta
gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek pribadi manusia pada setiap tahapan usia perkembangan tertentu
untuk mengenali dan menyikapi manusia
yang bertujuan untuk memudahkan proses pendidikan (Robandi,
2005:25). Pendidikan harus mempertimbangkan aspek psikologi peserta
didik sehingga peserta
didik harus di pandang sebagai
subjek yang akan berkembang sesuai
dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Sekurang- kurangnya terdapat tiga prinsip umum perkembangan peserta
didik sebagai manusia yaitu (1)
perkembangan setiap individu menunjukan perbedaan dalam kecepatan dan irama; (2) perkembangan berlangsung relatif, teratur dan (3)
perkembangan berlangsung secara bertahap.
Landasan psikologi pendidikan
mencakup dua ilmu yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi
perkembangan adalah ilmu-ilmu
yang mempelajari tingkah
laku individu dalam perkembangannya meliputi
perkembangan fisik, psikologi, sosial, emosional, emosi dan moral.
Terdapat tiga teori
pendekatan tentang perkembangan menurut Syaodih (2004) yaitu (1) Pendekatan Pentahapan. Perkembangan individu berjalan
melalui tahapan-tahapan tertentu.
Pada setiap tahap memiliki ciri-ciri
khusus yang berbeda
dengan ciri-ciri pada tahap-tahap yang lain. (2) Pendekatan Diferensial. Pendekatan ini memandang individu- individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dan
perbedaan-perbedaan. Atas dasar ini lalu orang membuat
kelompok-kelompok. Anak- anak yang memiliki
kesamaan dijadikan satu kelompok. Maka
terjadilah kelompok berdasarkan jenis kelamin, kemampuan
intelek, bakat, ras, agama, status
sosial ekonomi, dan sebagainya. (3) Pendekatan Ipsatif.
Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu, dapat saja disebut
sebagai pendekatan individual
(melihat perkembangan seseorang
secara individual). Dari ketiga pendekatan ini, yang paling banyak
dilaksanakan adalah pendekatan pentahapan. Pendekatan pentahapan ada dua macam yaitu yang bersifat
menyeluruh dan yang bersifat khusus.
Yang menyeluruh akan mencakup segala aspek perkembangan sebagai faktor yang diperhitungkan dalam menyusun tahap-tahap perkembangan. Sedangkan yang bersifat khusus hanya
mempertimbangkan faktor tertentu saja sebagai dasar menyusun tahap-tahap perkembangan anak, misalnya pentahapan Piaget, Koglberg, dan Erikson.
Menurut Piaget terdapat empat perkembangan kognisi
anak (Budingsih, 2004)
yaitu (1) periode
sensori motor pada usia 0-2 tahun, pada usia ini kemampuan anak terbatas
pada gerak-gerak refleks (2) periode
praoperasonal yaitu usia 2-7 tahun, perkembangan bahasa pada usia ini sangat pesat,
peranan intuisi dalam memutuskan sesuatu
masih besar, (3) periode operasi konkret usia 7-11 tahun, anak sudah dapat berpikir logis, sistematis dan memecahkan masalah
yang bersifat konkret. (4)
peirode operasi formal usia 11-15 tahun anak-
anak sudah dapat berpikir logis terhadap masalah baik yang bersifat konkret maupun abstrak. Anak pada tahap
ini dapat membentuk ide- ide dan masa
depannya secara realistis. Selanjutnya menurut Bruner (Budiningsih, 2004) perkembangan kognisi anak meliputi (1) tahap enaktif, anak melakukan aktivitas-aktivias
dalam upaya memahami lingkungan. (2) tahap ikonik,
anak memahami dunia melalui gambaran-gambaran dan visualiasi verbal.
(3) tahap simbolik, anak telah
memiliki gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika.
Perkembangan kognisi menurut Lawrence
Kohlberg (Syaodih, 2004) yaitu:
(1) Tingkat Prekonvensional
(a)
Tahap orientasi kepatuhan dan
hukuman, seperti kebaikan, keburukan, ditentukan oleh orang itu dihukum atau tidak.
(b)
Tahap orientasi egois yang naif,
seperti tindakan yang betul ialah yang memuaskan
kebutuhan seseorang.
(2) Tingkat Konvensional
(a)
Tahap orientasi anak baik, seperti
perilaku yang baik adalah bila disenangi orang lain.
(b)
Tahap orientasi mempertahankan peraturan
dan norma nanasosial, seperti perilaku yang baik ialah yang sesuai dengan harapan keluarga, kelompok atau bangsa.
(3) Tingkat Post-Konvensional
(a)
Tahap orientasi kontrak sosial yang legal, yaitu tindakan
yang mengikuti standar
masyarakat dan mengkonstruksi aturan baru.
(b)
Tahap orientasi prinsip etika
universal, yaitu tindakan yang melatih kesadaran
mengikuti keadilan dan kebenaran universal.
Terdapat delapan tahap perkembangan
Afeksi menurut Erikson yaitu (1) bersahabat versus menolak pada umur 0 -1 tahun, (2) otonomi
versus malu dan ragu-ragu pada umur 1 -3 tahun,
(3) Inisiatif versus
perasaan bersalah pada umur 3 -5 tahun (4) Perasaan
Produktif versus rendah diri pada umur 6 -11 tahun, (5) Identitas
versus kebingungan pada umur
12 – 18 tahun, (6) Intim versus mengisolasi diri pada umur 19 – 25 tahun, (7) Generasi versus
kesenangan pribadi pada umur 25 – 45 tahun, (8) Integritas versus
putus asa pada umur 45 tahun ke atas.
Psikologi belajar membahas tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi individu belajar dan
bagaimana individu belajar yang dikenal
dengan istilah teori belajar (Pidarta, 2007). Psikologi belajar yang berkembang sampai saat ini, pada dasarnya
dapat dikelompokan menjadi
3 kelas, antara lain:
(1)
Teori disiplin
daya/disiplin mental (faculty
theory).
Menurut
teori ini anak sejak dilahirkan memiliki potensi atau daya
tertentu (faculties) yang masing–masing memiliki fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya berpikir,
daya mencurahkan pendapat,
daya mengamati, daya memecahkan masalah,
dan sejenisnya.
(2) Behaviorisme.
Dalam
aliran behaviorisme ini, terdapat 3 rumpun teori yang mencakup teori koneksionisme/asosiasi,
teori kondisioning, dan teori operant conditioning (reinforcement). Behaviorisme menganggap bahwa perkembangan individu tidak muncul dari hal yang bersifat mental, perkembangan
hanya menyangkut hal yang bersifat
nyata yang dapat dilihat dan diamati. Belajar
merupakan upaya untuk membentuk hubungan
stimulus – respon
seoptimal mungkin. Tokoh utama teori ini yaitu Edward L. Thorndike.
(3) Organismic/Cognitive Gestalt Field.
Menurut
teori ini keseluruhan lebih bermakna daripada
bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai makhluk yang
melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan
ini dijalin oleh stimulus dan
respon. Stimulus yang hadir diseleksi menurut tujuannya, kemudian individu melakukan
interaksi dengannya terus-menerus sehingga terjadi suatu proses pembelajaran. Belajar menurut teori ini bukanlah
sebatas menghapal tetapi
memecahkan masalah, dan metode belajar
yang dipakai adalah metode ilmiah
dengan cara anak didik dihadapkan pada suatu permasalahan yang cara penyelesaiannya diserahkan kepada masing-masing anak didik yang pada
akhirnya peserta didik dibimbing untuk mengambil suatu
kesimpulan bersama dari apa yang telah
dipelajari.
b)
Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis bersumber pada norma kehidupan
masyarakat yang dianut
oleh suatu bangsa
sehingga tercipta nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi
oleh masing-masing anggota
masyarakat (Robandi, 2005: 26). Di dalam masyarakat
terdapat struktur sosial dan dalam struktur tersebut setiap inividu menduduki status dan peran
tertentu. Sumantri dan Yatimah (2017)
menjelaskan bahwa masyarakat dapat diidentifikasi melalui lima unsur yaitu:
a) adanya sekumpulan manusia yang hidup
bersama,
b)
melakukan interaksi sosial dalam waktu yang lama, c) saling bekerjasama, memiliki keturunan, dan berbagai macam kebutuhan, d) memiliki kesadaran
sebagai suatu kesatuan
atau unity, e) suatu sistem
hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan sehingga masing- masing
individu merasa terikat satu
sama lain.
Manusia pada hakikatnya sebagai makhluk
bermasyarakat dan berbudaya, oleh karena itu masyarakat menuntut
setiap individu mampu hidup demikian.
Namun karena manusia
tidak secara otomatis
mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya maka masyarakat melakukan pendidikan atau sosialisasi dan
atau enkulturasi. Dengan demikian
diharapkan setiap individu
mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya
sehingga tidak terjadi penyimpangan tingkah laku terhadp sisten nilai dan norma.
Dalam
konteks pendidikan Menurut
Bloom (1956) Manusia
sebagai bagian dari masyarakat mengalami perkembangan perilaku individu
yaitu pada kawasan
kognitif, psikomotor, dan afektif. Kawasan kognitif adalah segala upaya yang
mencakup aktivitas otak. Kawasan
afektif mencakup segala sesuatu yang terkait dengan emosi misalnya perasaan, nilai, penghargaan,
semangat, motivasi dan sikap. Dan
kawasan psikomotor meliputi gerakan dan koordinasi jasmani, keterampilan motorik dan kemampuan
fisik. Pada kawasan
kognitif
terdapat tingkatan ranah belajar yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis
dan evaluasi. Pada kawasan afektif
terdiri dari ranah yang behubungan dengan respons emosional
terhadap tugas yaitu
penerimaan, partisipasi, penilaian
atau penentuan sikap,
organisasi dan pembentukan pola hidup. Pada kawasan psikomotor yang berkaitan dengan keterampilan jasmani
terdiri dari ranah persepsi,
kesiapan, gerakan yang terbimbing gerakan yang terbiasa, gerakan yang komplek,
penyesuaian pola gerakan dan kreativitas.
Agar manusia mampu hidup bermasyarakat
dan berbudaya maka perlu ada keseimbangan antar kawasan kognitif,
afektif dan psikomotor sebagai wujud dari pengembangan karakter.
Pengembangan karakter dilakukan
secara sistematis dan berkesinambungan melalui
pendidikan yang lebih menonjolkan kawasan-kawasan afektif dan psikomotor melalui penekanan bagaimana
mengevaluasi perilaku, akhlak dan moral daripada menonjolkan kawasan kognitif semata.
Landasan sosiologis pendidikan di
Indonesia menganut paham integralistik
yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat. Ciri dari paham integralistik adalah (1) kekeluargaan dan gotong
royong kebersamaan, musyawarah mufakat; (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan
hidup bermasyarakat; (3) negara melindungi warga negaranya; (4) selaras dan seimbang antara hak dan kewajiban.
Oleh karena itu pendidikan di Indonesia tidak
hanya meningkatkan kualitas
manusia secara individu
melainkan juga meningkatkan kualitas struktur masyarakatnya.
Kajian sosiologi tentang pendidikan
pada dasarnya mencakup semua jalur
pendidikan. Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan berlangsung dalam lingkungan keluarga, lingkungan perguruan/sekolah dan lingkungan
masyarakat (Rahmat, 2012:52). Ketiga lingkungan pendidikan tersebut memberi
pengaruh yang dapat mengarah positif maupun negatif,
sehingga lingkungan pendidikan
berperan menjadi pusat berlangsungnya pendidikan untuk pertumbuhan dan
perkembangan pesert didik. Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya
(UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga). Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama
bagi perkembangan individu
anak, karena sejak kecil anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga.
Awal pendidikan anak sebenarnya diperoleh
melalui keluarga, dalam dunia pendidikan disebut pendidikan informal.
Pembelajaran yang terjadi
di dalam keluarga terjadi setiap hari pada saat
terjadi interaksi antara anak dengan keluarganya. Peran orangtua menjadi
panutan bagi anak-
anaknya. Dalam keluarga, orangtua mempunyai peran yang sangat penting
dalam membentuk dan mengembangkan karakter
dan kepribadian anak.
Sekolah sebagai institusi sosial
merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar
secara formal atau
disebut juga dengan pendidikan formal.
Sekolah memiliki fungsi
sebagai alat untuk melakukan perubahan-perubahan (agent of change),
sesuai dengan tuntutan zaman. Sekolah berfungsi sebagai alat untuk mengintrodusir nilai-nilai baru yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas
hidup dan kehidupan
masyarakat tanpa meninggalkan nilai lama yang perlu dipertahanlan agar dapat diadopsi
oleh masyarakat, demi mengadaptasi perkembangan teknologi dan pengetahuan, yang pada akhirnya
bertujuan agar kehidupan
masyarakat lebih berkualitas.
Tugas utama sekolah yaitu berupaya untuk
menciptakan proses pembelajaran
secara efektif dan efisien untuk mengantarkan peserta didik mencapai prestasi yang memuaskan. Sekolah sebagai sistem sosial adalah suatu upaya untuk memahami
tujuan, peran, hubungan dan perilaku
berbagai komponen pendidikan di sekolah dalam
setting
sosial. Terdapat dua elemen
dasar sekolah sebagai sistem sosial yaitu
(1)
institusi, peran dan harapan dalam
menentukan norma bersama atau dimensi
sosial, (2) individual, personalitas dan pemenuhan
kebutuhan yang merupakan
dimensi psikologis. Sekolah
sebagai sistem sosial diharapkan mampu mencapai moral kerja anggota
organisasi yang efektif,
efisien dan memuaskan
melalui integrasi kebutuhan individu dan kebutuhan organisasi.
Masyarakat sebagai media transformasi
sosial dapat dikatakan bahwa masyarakat merupakan sekumpulan manusia
yang saling berinterkasi dalam suatu hubungan sosial.
Anak dalam pergaulannya di dalam masyarakat tentu banyak berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung misalnya
anak bermain dengan
teman-temannya di luar rumah, sedangkan
secara tidak langsung
misalnya anak melihat
kejadian-kejadian yang dipertontonkan oleh masyarakat. Keberhasilan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh proses pendidikan di
sekolah dan tersedianya sarana prasarana, tetapi juga ditentukan oleh lingkungan keluarga
dan atau masyarakat sehingga pendidikan merupakan
tanggung jawab bersama antara
pemerintah (sekolah), keluarga dan masyarakat. Hal ini berarti orang tua murid dan masyarakat memiliki tanggung
jawab untuk ikut berpartisipasi dan memberikan dukungan
dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Terdapat hubungan saling menguntungkan antara sekolah dengan
masyarakat yaitu dalam bentuk hubungan
saling memberi, saling melengkapi, dan saling menerima
sebagai partner. Sekolah
pada hakekatnya mempunyai
fungsi ganda terhadap
masyarakat yatiu sebagai agen pembaharuan bagi masyarakat
sekitarnya dan memberi pelayanan. Dengan hubungan yang harmonis tersebut
terdapat beberapa manfaat
pelaksanaan hubungan sekolah dengan masyarakat
yaitu (1) memperbesar dorongan mawas diri yaitu pengawasan terhadap kualitas penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat
melalui dewan pendidikan dan komite sekolah,
(2) meringankan beban sekolah dalam memperbaiki serta meingkatkan kualitas
penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah, (3) opini masyarakat terhadap sekolah alan lebih
positif dan benar,
(4) meningkatkan upaya
peningkatan profesi mengajar guru, (5) masyarakat akan ikut serta memberikan kontrol/koreksi terhadap
sekolah, (6) dukungan moral masyarakat
akan tumbuh terhadap sekolah sehingga memudahkan mendapatkan bantuan material
dan penggunaan berbagai
sumber termasuk nara sumber
dari masyarakat. Sedangkan bagi masyarakat dengan adanya hubungan yang harmonis antar sekolah dengan masyarakat
maka (1) masyarakat/orang tua akan mengerti tentang berbagai hal yang menyangkut penyelenggaraan pendidikan di sekolah,
(2) keinginan dan harapan masyarakat dapat mudah disampaikan dan di realisasikan oleh
pihak sekolah, (3) masyarakat mendapat
kesempatan untuk memberikan saran usul, maupun kritik untuk membantu
menciptakan kualitas sekolah.
c)
Landasan Historis
Landan historis pendidikan nasional di
Indonesa tidak terlepas dari sejarah
bangsa indonesia itu sendiri. Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang
sejak zaman Kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit
sampai datangnya bangsa lain yang
menjajah serta menguasai bangsa Indonesia. Dengan kata lain, tinjauan
landasan sejarah atau historis Pendidikan Nasional Indonesia merupakan pandangan ke masa lalu atau pandangan retrospektif. Pandangan ini melahirkan studi-studi historis tentang
proses perjalanan pendidikan
di Indonesia yang terjadi pada periode tertentu di masa yang lampau.
Dilihat
dari pendidikan di masa lampau Indonesia dapat
dikelompokan menjadi enam tonggak sejarah (Robandi, 2005) yaitu
(a) pendidikan tradisional yaitu penyelenggaraan pendidikan di
nusantara yang dipengaruhi oleh agama-agama besar di dunia
seperti Hindu, Budha, Nasrani dan
Nasrani. (b) pendidikan kolonial barat yaitu
penyelenggaraan pendidikan dinusantara yang dipengaruhi oleh pemerintah kolonial barat terutama
kolonial Belanda (c) pendidikan kolonial
jepang yaitu penyelenggaraan pendidikan dinusantara yang dipengaruhi oleh pemerintah kolonial jepang pada masa perang
dunia II (d) pendidikan
zaman kemerdekaan, (e) pendidikan zaman orde
lama dan baru, (f) pendidikan zaman reformasi yaitu penyelenggaraan pendidikan dengan sistem pendidikan
desentralisasi. Kondisi historis dari keenam tonggak sejarah
pendidikan tersebut mempunyai
implikasi terhadap penyelenggaraan pendidikannya dalam hal tujuan pendidikan, kurikulum/isi pendidikan, metode pendidikan dan pengelolaanya
serta kesempatan pendidikan.
4)
Landasan Religi
Landasan religi adalah asumsi-asumsi
yang bersumber dari religi atau agama
yang menjadi titik tolak dalam rangka praktik pendidikan dan atau studi pendidikan (Hasubllah, 2008). Landasan
religius ilmu pendidikan bertolak dari hakikat
manusia yaitu (1) Manusia sebagai
makhluk Tuhan YME; (2) Manusia
sebagai kesatuan badan
dan rohani; (3) Manusia
sebagai makhluk individu, (4) Manusia sebagai makhluk sosial. Manusia adalah mahkluk Tuhan YME.
Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan
konsekuensi fungsi dan tugas manusia
sebagai khilafah dimuka bumi ini. Manusia adalah subjek yang memiliki kesadaran
(consciousness) dan penyadaran diri (self-awarness). Oleh karena itu,
manusia adalah subjek yang menyadari
keberadaannya, ia mampu membedakan
dirinya dengan segala sesuatu yang
ada di luar dirinya (objek). Selain
itu, manusia bukan saja mampu berpikir tentang
diri dan alam sekitarnya, tetapi
sekaligus sadar tentang
pemikirannya. Namun, sekalipun manusia menyadari perbedaannya
dengan alam bahwa dalam konteks keseluruhan alam semesta manusia
merupakan bagian
daripadanya. Oleh sebab itu, selain mempertanyakan asal usul alam semesta tempat ia berada,
manusia pun mempertanyakan asal-usul keberadaan dirinya
sendiri.
Manusia adalah kesatuan jasmani dan
rohani yang hidup dalam ruang dan waktu, sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai berbagai kebutuhan, insting, nafsu, serta
mempunyai tujuan. Selain itu, manusia mempunyai potensi
untuk beriman dan bertakwa kepada
Tuhan YME dan potensi
untuk berbuat baik, potensi untuk mampu berpikir (cipta), potensi berperasaan (rasa), potensi berkehendak
(karsa), dan memiliki potensi untuk
berkarya. Adapun dalam eksistensinya manusia memiliki aspek individualitas, sosialitas, moralitas, keberbudayaan, dan keberagaman. Implikasinya maka manusia itu berinteraksi atau berkomunikasi, memiliki
historisitas, dan dinamika.
Agar manusia mampu menjadi khalifah
yang baik maka memerlukan pendidikan. Pendidikan harus berfungsi
memanusiakan manusia.
Pendidikan adalah humanisasi, sebagai humanisasi, pendidikan hendaknya dilaksanakan untuk membantu perealisasian/pengembangan berbagai
potensi manusia, yaitu potensi untuk mampu beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan YME,
berbuat baik, hidup sehat, potensi cipta, rasa,
karsa dan karya. Semua itu harus dikembangkan secara menyeluruh dan terintegrasi dalam konteks kehidupan
keberagamaan, moralitas, individualitas, sosial dan kultural.
Dalam
landasan religius, anak merupakan amanah sekaligus karunia
Tuhan YME, yang harus dijaga dan dibina karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai
manusia yang harus dijunjung tinggi.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) tentang hak-hak
anak. Anak memerlukan pendidikan akhlak yang
baik dalam proses tumbuh kembangnya. Jamaluddin (2012) memaparkan bahwa peran orangtua sangat penting dalam membentuk kepribadian anak pada masa yang akan
datang.
Dalam
rangka pencapaian pendidikan, setiap agama berupaya
untuk melakukan pembinaan
seluruh potensi manusia
secara serasi dan seimbang, karena dengan terbinanya seluruh potensi manusia
secara sempurna diharapkan ia dapat melakukan
fungsi pengabdian sebagai
khalifah di muka bumi. Potensi-potensi yang harus dibina
meliputi seluruh potensi yang dimiliki, yaitu potensi
spiritual, kecerdasan, perasaan dan kepekaan. Potensi-potensi tersebut merupakan kekayaan
dalam diri manusia
yang berharga. Untuk itu, diperlukan pendidikan untuk membentuk manusia menjadi insan yang mendekati
kesempurnaanatau memiliki kepribadian
yang utama. Pendidikan bagi anak berupaya untuk memberikan bimbingan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada
anak- anak dalam pertumbuhannya
(jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri
dan masyarakat. Untuk mempelajari lebih lanjut tentang landasan ilmu pendidikan dapat
diakses melalui link berikut: http://bit.ly/2rhxLEe
c.
Penerapan Landasan Ilmu Pendidikan dalam Praktik Pendidikan
1) Landasan Filosofis
Landasan filosofis pendidikan
telah melahirkan berbagai
aliran pendidikan yang muncul sebagai
implikasi dari aliran-aliran yang terdapat dalam
filsafat. Berbagai macam aliran filsafat
tersebut adalah idealisme,
realisme, pragmatisme. Landasan filsafat pendidikan memberikan prespektif filosofis yang seyogyanya merupakan acuan yang dikenakan dalam menyikapi serta melaksanakan kegiatan
pendidikan. Oleh karena
itu landasan filsafat
pendidikan dibentuk bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah
dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi, atau displin ilmu lainnya, akan tetapi dengan
memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatanny akepada kerangka konseptual kependidikan. Hal ini untuk mencapai
tujuan pendidikan itu sendiri yang seimbang, baik dari aspek kognitif, psikomotorik dan afektif.
Landasan filsafat
pendidikan tercermin di dalam semua keputusan serta
perbuatan pelaksanaan tugas-tugas pendidik baik instruksional
maupun non instruksioanal. Filsafat memberi rambu-rambu yang memadai dalam merancang serta mengimplementasikan
program pendidikan bagi guru dan tenaga pendidikan. Rambu-rambu yang dimaksud
disusun dengan mempergunakan
bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu
pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis
tugas pendidik serta pilihan nilai
yang dianut masyarakat. Rambu- rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaah interpretif, normative dan kritis dirumuskan kedalam
perangkat asumsi filosofis
yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta interpretatif program
yang dimaksud.
2)
Landasan Yuridis
Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa. Landasan
yuridis telah banyak memberikan kontribusi landasan dalam pelaksanaan praktik pendidikan di Indonesia, sebagai
contoh adalah penerapan
UU No.20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
(Syarifudin, 2006). Pada pasal 33 UU tersebut mengatur mengenai bahasa pegantar pendidikan nasional Indonesia
yaitu menggunakan Bahasa Indonesia, sedangkan bahasa asing digunakan untuk menunjang kemampuan
bahasa asing peserta didik dan bahasa daerah digunakan dapat digunakan sebagai
pengantar untuk mempermudah penyampaian pengetahuan. Pada
pasal 39, 40, 41, 42, 43, dan 44
mengatur tentang pendidik dan tenaga kependidikan, misalnya pada pasal 42 menjelaskan bahwa pendidik
harus mempunyai kualifikasi minimum
dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
3)
Landasan Empiris
a)
Landasan Psikologis
Penerapan landasan psikologis
dalam praktik pembelajaran, salah satunya dapat dilihat dari layanan pendidikan terhadap anak
dibuat bertingkat berdasarkan perkembangan individu yang bertahap
baik perkembangan biologis, kognitif, afektif maupun psikomotor, yang pada setiap perkemangannya setiap individu memiliki tugas-tugas yang harus
diselesaikannya. Contoh riil dari hal
tersebut adalah penyelanggaraan pendidikan di Indonesia yang berjenjang. Di Indonesia terdapat
pendidikan untuk anak usia dini atau PAUD, pendidikan untuk usia di bawah 6 tahun yang dimanakan
taman kanak-kanak atau TK, pendidikan sekolah dasar (SD/IT), sekolah menengah pertama (SMP/MTS), menengah atas (SMA/SMK/MA) dan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta,
merupakan program pendidikan yang dihasilkan berdasarkan perkembangan peserta didik yang beragam.
b)
Landasan Sosiologis
Implikasi landasan sosiologis dalam praktik pendidikan dapat tercermin melalui
adanya struktur sosial di berbagai
lingkungan pendidikan atau tri pusat pendidikan. Implikasi
landasan sosiologis di lingkungan keluarga
tercermin dengan adanya praktik pola asuh yang turun temurun dalam keluarga. Contoh
Orang tua rela berkorban membiayai pendidikan anak- anaknya agar status sosial anak meningkat. Implikasi landasan sosiologis di lingkungan sekolah terlihat
melalui adanya badan kerja sama antara sekolah
dengan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk wakil-wakil orang tua siswa, contoh pembentukan komite sekolah, mengundang nara sumber ke sekolah dari tokoh- tokoh penting di masyarakat seperti
ketua adat, atau ketua paguyuban. Di lingkungan masyarakat, implikasi landasan sosiologi tercermin dalam adanya proses
interaksi antar individu maupun kelompok
dan sosialisasi. Interkasi
ini menghasilkan budaya, adat dan norma yang berlaku dalam
masyarakat seperti norma susila dan
asusila. Contoh riil implikasi sosiologi dalam
pendidikan masyarakat di Indonesia adalah terdapat mata pelajaran
bermuatan lokal (Mulok) di masing-masing daerah sebagai
bentuk upaya melesetarikan budaya.
c)
Landasan Historis
Salah
satu implikasi landasan
historis dalam pendidikan adalah lahirnya pancasila, sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi
dasar negara Indonesia
secara obyektif historis
telah dimiliki oleh bangsa indonesia, Sehingga asal nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila tidak lain adalah jati diri bangsa indonesia yang berjuang menemukan jati
dirinya sebagai bangsa yang merdeka
dan memiliki suatu prinsip yang tersimpul dalam pandangan hidup serta filsafat hidup. Contoh implementasi Pancasila dalam praktik
pendidikan Nasional Indonesia
adalah Pancasila merupakan
konten utama dari mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKN) di sekolah
khususnya untuk jenjang
pendidikan SMP yang mencakup dua hal yaitu pertama materi perihal status, kedudukan dan fungsi
pancasila dalam kehidupan berbangsa
dan bernegera. Kedua materi perihal isi substansi yang terkandung dalam sila-sila
pancasila. Selanjutnya contoh lain implikasi landasan historis adalah adanya
sembonyan “tut wuri handayani” yaitu semboyan dari Ki Hadjar Dewantara
sebagai salah satu peranan yang harus
dilaksanakan oleh pendidik dan dijadikan semboyan
pada logo Kementerian Pendidikan Nasional.
4)
Landasan Religius
Landasan religius dalam bimbingan
dan konseling mengimplikasikan bahwa konselor sebagai
“helper” pemberi bantuan
untuk memiliki pemahaman akan nilai-nilai agama, dan komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling
kepada klien atau peserta didik. Konselor semestinya menyadari bahwa memberikan layanan bimbingan dan konseling
kepada klien merupakan salah satu kegiatan yang bernilai ibadah.
Agar bantuan layanan
yang
dilakukan itu bernilai ibadah harus didasarkan kepada
keikhlasan dan kesabaran.
Implikasi landasan religius dalam
pendidik di sekolah tercermin melalui tugas utama guru yaitu mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi peserta didik. Kegiatan
mendidik bagi guru merupakan
bagian dari ibadah, karena mendidik merupakan
kegiatan pengabdian yang secara tidak langsung tertuju kepada Tuhan YME. Tuhan menciptakan manusia tidak lain
untuk beribadah. Hal ini yang menjadi
dasar setiap pendidik dalam kehidupan sehari-hari, demikian juga dalam
mendidik anak di sekolah. Anak adalah amanah yang harus dijaga dan dididik
dengan nilai-nilai agama.
Pendidik juga memiliki
peran penting dalam membantu
membentuk kepribadian anak pada masa yang akan
datang. Contoh penerapan landasan religius di sekolah adalah (1) pemberian
mata pelajaran wajib untuk pendidikan agama, (2) guru memberikan
pengetahuan agama kepada peserta didiknya sesuai dengan agama/ kepercayaan yang dianutnya, (3) guru mengajarkan hal-hal
baik seperti berdoa sebelum dan sesudah pembelajaran, (4) mengarahkan peserta
didik untuk taat kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti
melaksanakan ibadah bersama
atau berjamaah di sekolah, (5) Melaksanakan
nilai-nilai religius di sekolah dalam pendidikan karakter dan kegiatan keagamaan
seperti kegiatan ekstrakulikuler. Untuk mempelajari
lebih lanjut tentang landasan ilmu pendidikan dalam praktik pendidikan anda dapat mengakses
melalui link berikut:
http://bit.ly/34Fd9nL
5.
Forum Diskusi
Saudara
mahasiswa untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai
materi yang telah disampaikan
di atas, Coba Anda diskusikan kajian
berikut dengan teman-teman kelompok
di kelas Anda!
Pak Sigit adalah seorang guru di SMA Negeri di Bandung.
Peserta didik yang dihadapi
oleh beliau memiliki
perbedaan latar belakang
ekonomi,
kultur dan perbedaan
pola asuh dari orangtua yang sangat beragam.
Bagaimanakah pak Sigit harus mengakomodasi beragam
perbedaan tersebut agar praktik pendidikan yang dilaksanakan mampu mengembangkan potensi
dan mengarahkan peserta didik menajdi
lebih baik!
1.
Rangkuman
Landasan pendidikan merupakan
seperangkat asumsi yang dijadikan titik tolak
dalam praktik pendidikan. Melalui studi pendidikan diperoleh pemahaman tentang landasan pendidikan yang akan
dijadikan sebagai titik tolak dalam praktik pendidikan yang akan dilaksanakan. Hal tersebut dimulai
dengan memahami hakekat manusia, di mana manusia sebagai
pelaku utama yang memiliki peran sebagai
subjek di dalamnya. Hakekat manusia dapat dilihat dalam beberapa aspek yaitu berdasarkan asal-usulnya manusia sebagai makhluk
Tuhan, struktur metafisiknya manusia sebagai kesatuan
jasmani dan rohani, serta karakteristik dan
makna eksistensinya di dunia yang bisa dilihat
sebagai makhluk individu,
makhluk sosial, makhluk
berbudaya, makhluk susila,
dan makhluk beragama.
Manusia memiliki tanggung
jawab untuk membina
masyarakat, memelihara alam lingkungan, membina
kerukunan hidup bersama,
dan memelihara martabat
kemanusiaannya (human dignity),
sehingga sepatutnya manusia perlu memiliki kompetensi
pedagogik terlebih lagi bagi seorang pendidik. Melalui kompetensi ini pendidik dituntut untuk memiliki
kemampuan dan trampil
dalam melihat karakteristik peserta didik dari berbagai aspek
kehidupan, baik itu moral, emosional maupun intelektualnya.
Landasan pendidikan sebagai pijakan
dalam praktik pendidikan diantaranya yaitu
landasan filosofis dan epistemologi, landasan yuridis, landasan empiris, dan landasan
religius. Landasan filosofis
pendidikan adalah pandangan-pandangan yang bersumber dari filsafat pendidikan mengenai hakikat
manusia, hakikat ilmu, nilai serta
perilaku yang dinilai baik dan dijalankan setiap lembaga pendidikan. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan epistimologi pendidikan adalah pandangan-pandangan yang bersumber dari cabang filsafat
epistimologi yang disebut juga teori mengetahui dan pengetahuan.
Landasan empiris terdiri dari landasan
psikologis, historis, dan sosiologis. Landasan
psikologi dalam pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari studi ilmiah tentang kehidupan manusia
pada umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan
dengan aspek pribadi manusia pada setiap tahapan usia perkembangan tertentu
untuk mengenali dan menyikapi manusia
yang bertujuan untuk memudahkan proses pendidikan. Landasan
historis pendidikan nasional
di Indonesa tidak terlepas
dari sejarah bangsa indonesia yang memiliki enam fase. Landasan sosiologis bersumber pada norma kehidupan masyarakat yang dianut
oleh suatu bangsa sehingga
tercipta nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat
dan harus dipatuhi oleh masing-masing
anggota masyarakat. Sedangkan landasan religius adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari religi atau agama yang
menjadi titik tolak dalam rangka praktik pendidikan dan atau studi pendidikan.
2.
Tes Formatif
Untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi yang telah disajikan
dalam Kegiatan Belajar 1 di atas, kerjakan tes formatif berikut dengan sungguh-sungguh. Pilihlah salah satu
jawaban yang paling tepat dari pertanyaan berikut:
1. Seorang
guru mengajar di dalam kelas dengan metode ceramah sehingga proses pembelajaran lebih terpusat pada guru sedangkan
siswa pasif karena
hanya mendengarkan. Hal tersebut termasuk
dalam proses pendidikan yang beraliran….
A. Behavioristik
B. Perenialisme
C. Humanisme
D. Esesnialisme
E.
Rekonstuksionisme
2. Tujuan
pendidikan Bangsa Indonesia yaitu pembentukan manusia yang ideal. Berikut ini implementasi sila ke 5
dalam pendidikan sebagai upaya pencapaian tujuan tersebut adalah....
A. Guru mengarahkan peserta didik untuk taat terhadap
Tuhan YME
B.
Orang tua memberi contoh
pada anak untuk tidak melakukan
diskriminasi pada siapapun
C.
Peserta didik diajarkan untuk
mencintai dan mengkonsumsi produk dalam negeri
D.
Pendidik mengikuti PPG untuk meningkatkan kreativitas dan profesionalitasnya
E.
Sekolah melakukan program kegiatan
bakti sosial dengan
melibatkan peserta didiknya
3. Berikut
ini contoh kegiatan yang tergolong ke
dalam praktik pendidikan adalah…
A. Ibu Ani sedang membaca buku psikologi pendidikan
B.
Ibu Heni dan pak didi sedang
berdiskusi tentang pengertian pendidikan
C. Pak Andi sedang mengajarkan konsep “bangun ruang” kepada peserta
didiknya
D.
Pak Budi sedang mencari ide untuk memotivasi peserta didiknya agar giat belajar
E.
Pak Hajar sedang mendownload
file materi Pendidikan Pancasila
4. Sebagai humanisasi pendidikan bukan berarti
pembentukan manusia (peserta didik) oleh manusia lainnya
(pendidik). Sebab asumsinya bahwa manusia atau peserta didik adalah…
A. Manusia merupakan makhluk otonom
B. Pribadi yang berkembang dan berakal
C.
Makhluk sosial
yang dapat mempengaruhi satu sama lain
D. Makhluk yang memiliki moral
sehingga dapat membedakan baik dan buruk
E.
Makhluk religius yang diciptakan oleh Tuhan
5. Seorang pendidik perlu memahami
landasan pendidikan. Salah satu manfaat
mempelajari landasan
pendidikan bagi pendidik adalah
A.
Memahami berbagai karakteristik peserta
didik sehingga memandang peserta didik
sebagai pribadi yang unik
B.
Menumbuhkan sikap berpikir kritis
pendidik terhadap perkembangan peserta didik
C.
Membantu pendidik dalam menentukan
metode pembalajaran yang tepat digunakan dalam situasi tertentu di kelas
D.
Meningkatkan perkembangan pola pikir dan pola kerja pendidik
tentang bagaimana seharusnya melaksanakan praktek pendidikan
E.
Memahami berbagai pasal-pasal dalam UUD dan peraturan yang berlaku di Indoensia
terkait dengan pendidikan
6. Beriku ini implikasi landasan
historis dalam proses
pendidikan di Indonesia adalah...
A.
Guru melaksanakan perannya sesuai
dengan semboyan “tut wuri handayani”
B.
Kurikulum pendidikan dikembangkan dengan memperhatikan psiklogi
perkembangan peserta didik
C.
Pembentukan komite sekolah sebagai
bentuk kerjasama antar sekolah dengan
masyarakat
D.
Guru mengajarkan mata pelajaran bermuatan lokal sesuai dengan
daerah tempat mengajarnya
E.
Terdapat program Bantuan
Operasional Sekolah untuk sekolah-sekolah negeri
7. Pengertian landasan
dibagi dua yaitu landasan fisik
dan konseptual. Berikut
ini yang termasuk dalam landasan konseptual adalah....
A.
Kurikulum dan silabus
B. Pancasila dan UUD 1945
C. Kerangka berfikir
D. Desain bangunan
E. Tujuan pendidikan
8. Pendidikan harus dilakukan sesuai dengan tahap-tahap dan tugas pekermbangan peserta didik. Oleh
kareananya pendidikan dilaksanakan dengan
mengacu pada landasan....
A. Psikologi pendidikan
B. Sosiologi pendidikan
C. Religi pendidikan
D. Ekonomi pendidikan
E. Ilmu pengetahuan dan Teknologi
9. Sila
pertama pancalisa adalah keTuhanan YME oleh sebab itu pendidikan hendaknya
bertujuan agar peserta
didik beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan YME. Hal tersebut
merupakan contoh
A.
Landasan yuridis
B. Landasan psikologis
C. Landasan religius
D. Landasan sosilogis
E. Landasan historis
10. Salah
satu tripusat pendidikan bagi anak adalah keluarga. Orang tua yang dalam kesehariannya rajin melaksanakan
ibadah sesuai dengan waktu yang ditentukan. Pada hakekatnya menanamkan pada anak...
A. Hak dan kewajiban
B. Kejujuran dan toleransi
C.
Gotong royong dan tangung jawab
D.
Kedisiplinan dan tanggung
jawab
E.
Kejujuran dan Tenggang
rasa
Cocokkanlah jawaban Saudara dengan
Kunci Jawaban Tes Formatif KB 1 yang terdapat
pada bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban
yang benar. Selanjutnya, gunakan rumus berikut
untuk mengetahui tingkat
penguasaan Saudara terhadap
materi Kegiatan Belajar 2.
Arti tingkat
penguasaan : 90 – 100% = baik sekali
80 – 89%
= baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang
Apabila Anda mencapai
tingkat penguasaan 80% atau lebih,
Bagus ! Saudara dapat meneruskan bagian selanjutnya. Jika masih di bawah 80%, tetap semangat, Saudara harus
mengulangi materi dalam Kegiatan Belajar 1, terutama pada bagian yang belum dikuasai.
Saudara mahasiswa, bagaimana kabar Anda saat ini? Semoga Anda selalu
sehat sehingga dapat mempelajari materi
modul dengan baik.
Saat ini Anda tengah
berada pada Kegiatan Belajar 1 dalam Modul 1 mata kuliah
Pedagogik. Kegiatan Belajar 1 akan
menyajikan materi terkait Konsep Dasar, Rasional, dan Landasan Ilmu Pendidikan. Bagaimana, Anda sudah
siap ? Bagus! Saudara mahasiswa, kita ketahui
bersama bahwa praktik pendidikan yang diperankan oleh pendidik adalah dalam rangka memfasilitasi peserta didik
agar mampu mewujudkan dirinya sesuai dengan
kodrat dan martabat kemanusiaannya. Dengan demikian sebagai pendidik professional Anda perlu melakukan segala
tindakan yang terarah kepada tujuan, yaitu
agar peserta didik mampu melaksanakan berbagai peranan sesuai dengan perannya berdasarkan nilai-nilai dan
norma-norma yang diakui dalam masyarakat. Ingat
bahwa praktik pendidikan adalah upaya
memanusiakan manusia, bersifat normatif dan harus dapat dipertanggung jawabkan.
Sehubungan dengan hal tersebut,
kegiatan belajar 1 ini menyampaikan Konsep, rasional dan landasan ilmu pendidikan sebagai
bekal bagi pendidik
profesional dalam melaksanakan praktik pendidikan. Sebagai pendidik
profesional melaksanakan praktik
pendidikan tidaklah boleh dilaksanakan secara sembarangan tanpa landasan yang jelas.
Namun, pelaksanaannya harus didasari konsep
yang kuat dan terencana. Artinya, praktik
pendidikan haruslah memiliki suatu landasan yang kokoh, jelas dan tepat. Landasan pendidikan memberikan pondasi
yang kuat bagi pendidik profesional untuk menjalankan perannya
sebagai pendidik sehingga
dapat menentukan tujuan yang jelas dan terarah, menetapkan isi kurikulum yang tepat dan mampu melaksanakan pembelajaran yang menyenangkan sebagai upaya menjadikan peserta didik sebagai individu yang utuh dan mencapai hakikat tujuan
pendidikan. Penguasaan Anda terhadap materi dalam Kegiatan
Belajar 1 ini, akan menjadi titik tolak dalam menetapkan suatu tujuan pendidikan, memilih isi pendidikan dan menentukan cara-cara
yang baik dalam pendidikan. Dengan demikian
praktik pendidikan Anda menjadi mantap, sesuai dengan fungsi dan sifatnya serta betul-betul dapat dipertanggungjawabkan.
Saudara mahasiswa, agar Anda dapat
menguasai materi Kegiatan Belajar 1 ini dengan baik dan berhasil mencapai
capaian pembelajaran yang telah dirumuskan, maka Anda perlu
ikuti petunjuk belajar berikut ini:
a. Sebelum membaca
materi modul dalam
KB 1 ini, renungkan terlebih
dahulu apa yang menjadi capaian pembelajaran dalam
modul agar terbangun rasa tanggung jawab dan kesepenuhhatian dalam belajar.
a.
Bacalah materi modul dengan cermat
dan seksama, serta tambahkan catatan- catatan seperlunya untuk membantu ingatan
Anda.
b.
Cermati dan kerjakan tugas yang diberikan dalam modul dengan sungguh- sungguh. Jangan lupa gunakan pengetahuan
dan pengalaman yang telah Anda miliki sebelumnya.
c.
Kerjakan tes formatif yang
diberikan seoptimal mungkin dan gunakan rambu-
rambu jawaban untuk mengetahui seberapa tingi ketuntasan belajar Anda.
d.
Jangan lupa membuat catatan
khusus yang Anda pandang penting
selama mempelajari isi modul.
Selamat belajar
dan semoga Anda berhasil dengan
baik……!
1.
Capaian Pembelajaran
Saudara
mahsiswa, Modul 1 Kegiatan Belajar
1 ini membahas materi tentang
Konsep Dasar, Rasional,
dan Landasan Ilmu Pendidikan. Materi
tersebut diuraikan secara rinci agar dapat memfasilitasi
Anda dalam upaya mencapai kemampuan menerapkan
berbagai landasan ilmu pendidikan dalam praktik pendidikan untuk mendukung tugas Anda sebagai pendidik yang
memesona yang dilandasi sikap cinta
tanah air, berwibawa, tegas, disiplin, penuh panggilan jiwa, samapta, disertai dengan
jiwa kesepenuhhatian dan
kemurahhatian.
2.
Sub Capaian Pembelajaran
Adapun sub capaian pembelajaran untuk mendukung capaian
pembelajaran tersebut di atas adalah:
a.
Menjelaskan konsep dasar dan rasional perlunya
landasan pendidikan sebagai
dasar dalam praktik
pendidikan.
b.
Menjelaskan berbagai landasan
ilmu pendidikan
c.
Menerapkan berbagai landasan
ilmu pendidikan dalam praktik pendidikan
3.
Pokok-pokok Materi
Adapun pokok-pokok materi yang akan disampaikan dalam kegiatan belajar
1 dalam modul 1 mata kuliah Pedagogik ini adalah:
a. Konsep dasar,
rasional, ilmu pendidikan
b.
Landasan-landasan
ilmu pendidikan
c.
Penerapan berbagai landasan
ilmu pendidikan dalam
praktik pendidkkan
4.
Uraian materi
a.
Konsep Dasar dan Rasional
Ilmu Pendidikan
Saudara
Mahasiswa, sebelum kita mengkaji tentang
berbagai landasan pendidikan, terlebih dahulu kita perlu
membahas konsep pendidikan dan rasional perlunya pendidikan untuk memudahkan kita memahami bahasan
selanjutnya.
Berbicara tentang pendidikan tidak dapat terlepas
dari pembahasan tentang
manusia yang memiliki
kedudukan sebagai subjek dalam pendidikan. Sebagai subjek pendidikan, manusia memiliki banyak definisi salah satunya dijelaskan oleh Notonagoro yang mendefinisikan manusia
sebagai makhluk monopluralis sekaligus monodualis
(Dwi Siswoyo, 2007: 46-47). Sebagai makhluk monopluralis berarti manusia itu mempunyai banyak unsur kodrat
(plural) yaitu jiwa dan raga, namun merupakan
satu kesatuan (mono). Di sisi lain, manusia juga sebagai makhluk monodualis yaitu makhluk yang terdiri dari dua sifat yaitu sebagai
makhluk pribadi dan sosial
(dualis), tetapi juga merupakan
kesatuan yang utuh (mono).
Driyarkara (1969:7) mejelaskan bahwa
manusia merupakan makhluk yang berhadapan dan menghadapi dirinya
sendiri, bisa bersatu
dan bisa mengambil
jarak dengan dirinya sendiri.
Manusia merupakan makhluk yang dapat merubah dirinya melalui suatu keadaan dan dapat pula merubah keadaan melalui
perannya. Oleh karena itu, manusia
memiliki kemampuan memberikan aksi dan reaksi terhadap situasi atau alam
kondrat yang dihadapinya.
Sebagai individu, manusia mempunyai
perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Hal itulah yang menjadikan manusia
bersifat unik. Perbedaan
ini dapat kita lihat dari berbagai aspek diantaranya berkaitan
dengan postur tubuhnya,
kemampuan berpikirnya, motivasinya, minat dan bakatnya, dunianya,
cita-citanya, pretasinya, hingga
peran sosialnya, dan lain sebagainya. Perbedaan itulah yang menjadikan manusia memiliki karakteristik
yang khas yang mencerminkan sifat kemanusiaanya.
Adapun hakekat manusia menurut Sumantri & Yatimah (2015: 3- 4) dapat dilihat
melalui beberapa aspek, yaitu: 1) berdasarkan asal-usulnya sebagai makhluk
Tuhan, 2) struktur metafisiknya manusia sebagai kesatuan jasmani dan rohani, serta 3) karakteristik dan makna
eksistensinya di dunia yang bisa dilihat sebagai
makhluk individu, makhluk sosial, makhluk berbudaya, makhluk susila, dan makhluk
beragama.
Pada
prinsipnya untuk mempertahankan eksistensinya manusia selalu
terlibat dengan fenomena
pendidikan baik disadari ataupun tidak, bahkan Syarifudin dan Kurniasih (2014: 3) memberikan definisi
pendidikan adalah hidup itu sendiri. Hal tersebut memiliki
makna bahwa manusia
yang hidup pasti akan memperoleh segala
pengalaman (belajar) dari berbagai lingkungan yang
berlangsung sepanjang hayat dan
berpengaruh positif bagi perkembangannya. Lebih lanjut Dwi Siswoyo dkk (2007: 37) menjelaskan bahwa pendidikan
itu terselenggara dalam rangka untuk mengembangkan segenap
potensi kemanusiaan ke arah yang positif sehingga
manusia menjadi
makhluk yang berbudaya. Di sisi lain, manusia memiliki
tanggung jawab untuk membina masyarakat, memelihara alam lingkungan, membina kerukunan hidup bersama, dan memelihara martabat
kemanusiaannya (human dignity).
Sifat-sifat positif kemanusiaan itu harus terus diwariskan oleh manusia secara turun-temurun, sehingga
sepatutnya dalam diri manusia perlu dimiliki kemampuan mengasuh, mengajar, dan mendidik
apalagi jika manusia tersebut adalah seorang
pendidik.
Pendidikan diartikan sebagai bantuan yang diberikan oleh orang dewasa kepada orang yang belum dewasa, agar orang tersebut mencapai
kedewasaan (Winkel;2012). Dalam bahasa Yunani pendidikan juga dikenal dengan istilah “Paedagogiek” (pedagogik) yang artinya
ilmu menuntun anak. Pedagogik juga berarti
teori mendidik yang membahas apa dan bagaimana mendidik yang sebaik- baiknya. Carter V. Good (Syam dkk, 2003)
menjelaskan istilah Pedagogy atau pendidikan
dalam dua hal, yang pertama pendidikan adalah seni, praktek, atau profesi
pengajaran. Kedua, pendidikan adalah ilmu yang sistematis atau pengajaran yang berhubungan dengan prinsip-prinsip
dan metode mengajar, pengawasan dan pembimbingan peserta
didik. Kegiatan mendidik
diartikan sebagai upaya membantu
seseorang untuk menguasai
aneka pengetahuan, ketrampilan, sikap, nilai yang diwarisi dari keluarga dan masyarakat (Arif
Rohman, 2011:5). Mendidik
juga bisa diartikan sebagai
tindakan merealisasikan potensi
seseorang yang dibawa sewaktu lahir. Pendidikan sendiri
berlangsung melalui dan di dalam pergaulan, namun
tidak semua pergaulan bersifat mendidik atau dapat dikatakan bersifat
pedagogik. Pergaulan akan bersifat pedagogik apabila pendidik atau orang
dewasa bertujuan memberikan pengaruh positif kepada seseorang dan pendidik juga memiliki wewenang
terhadap orang tersebut.
Tahukan
Anda bahwa kemampuan
mendidik tidak serta merta dimiliki
dengan sendirinya? Untuk memiliki kemampuan
mendidik tersebut diperlukan
penguasaan konsep yang benar tentang
kegiatan mendidikan disertai
dengan kemampuan melakukan praktiknya. Oleh karena
itu, ilmu pendidikan hadir sebagai ilmu yang khusus mempelajari fenomena
pendidikan. Arif Rohman (2011: 13) mendefinisikan ilmu pendidikan sebagai
ilmu yang mempelajari suasana dan proses
pendidikan yang berusaha
memecahkan masalah yang terjadi di dalamnya sehingga
mampu menawarkan pilihan
tindakan mendidik yang efektif. Syarifudin (2006: 41) mendefinisikan ilmu pendidikan sebagai
sistem pengetahuan tentang fenomena pendidikan yang dihasilkan melalui
penelitian dengan menggunakan metode ilmiah. Ilmu pendidikan juga dapat dikatakan
sebagai seni, karena dalam penerapannya melibatkan emosi,
kreatifitas, dan dimensi-dimensi kemanusiaan
lainnya selain hal-hal metodis seperti prinsip dan aturan dalam mendidik
dan mengasuh.
Berkaitan dengan kemampuan mendidik di
Indonesia telah diatur dalam UU no
14 tahun 2005 tentang guru dan dosen bahwa salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik adalah kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan pemahaman
terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan
pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimilikinya. Melalui kompetensi
ini pendidik dituntut
untuk memiliki kemampuan
dan trampil dalam melihat karakteristik peserta didik dari berbagai aspek
kehidupan, baik itu moral, emosional maupun intelektualnya. Implikasi dari kemampuan ini tentunya
dpat terlihat dari kemampuan pendidik
dalam menguasai prinsip-prinsip belajar mulai dari teori belajar hingga penguasaan bahan ajar.
Mengapa kompetensi pedagogik menjadi
kompetensi yang penting dalam profesi sebagai
pendidik? Hal tersebut
dikarenakan kompetensi pedagogik
merupakan kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan memilih
berbagai tindakan yang paling baik untuk membantu
perkembangan peserta didik. Kompetensi pedagogik
akan menghindarkan seorang
pendidik profesional melakukan kegiatan pembelajaran yang
bersifat monoton dan bersifat demagogik, dan
membuat peserta didik kehilangan minat serta daya serap dan konsentrasi belajarnya.
Saudara mahasiswa, dalam rangka
menghadapi era disrupsi abad 21 dan revolusi industri
4.0 seorang pendidik
dituntut untuk mampu beradaptasi menghadapi perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuam yang luar
biasa sehingga diperlukan pendidik
yang mampu bersaing
bukan hanya kepandaian tetapi kreativitas dan kecerdasan bertindak. Guru yang kompeten
adalah guru yang menguasai
softskill atau pandai berteori saja,
melainkan juga kecakapan hardskill. Adanya keseimbangan kompetensi tersebut menjadikan guru sebagai agen perubahan
mampu menyelesaikan masalah pendidikan atau pembelajaran yang dihadapi sebagai dampak kemajuan zaman.
Pendidik yang mampu menghadapi tantangan
tersebut adalah pendidik yang profesional yang memiliki kualifikasi akademik
dan memiliki kompetensi-kompetensi antara lain kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial
yang berkualitas dan seimbang antara softskill
dan hardskill. Untuk mempelajari lebih lanjut materi tentang konsep dan
rasional landasan pendidikan Anda dapat mengakses link berikut: http://bit.ly/36IURE7
b.
Landasan Ilmu Pendidikan
Setelah Anda memahami konsep dan rasional
ilmu pendidikan, pembahasan
kita selanjutnya adalah
mengenai landasan ilmu pendidikan. Anda pasti tidak
asing lagi dengan kata “landasan” bukan? landasan mengandung arti sebagai dasar atau tumpuan. Istilah landasan dikenal
pula sebagai fondasi.
Mengacu pada arti kata tersebut maka dapat dipahami
bahwa landasan merupakan
suatu dasar pijakan
atau fondasi tempat berdirinya sesuatu.
Berdasarkan sifatnya, landasan
dibedakan menjadi dua jenis yaitu landasan yang bersifat material dan konseptual (Robandi, 2005: 1). Landasan material
lebih bersifat fisik atau berwujud
seperti sarana prasarana, peserta didik, dan lingkungan, sedangkan landasan konseptual lebih
bersifat asumsi atau teori-teori, contohnya adalah UUD 1945 dan teori pendidikan. Dengan berpegang teguh pada landasan
pendidikan yang kokoh, setidaknya kesalahan-kesalahan konseptual dalam pendidikan yang merugikan dapat
dihindari, sehingga pada praktiknya pendidikan dapat berjalan sebagaimana fungsinya dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam praktik
pendidikan, sebagai pendidik
profesional semestinya
mampu melaksanakan peranan sesuai semboyan “tut wuri handayani”. Untuk itu para guru idealnya memahami dan meyakini
asumsi-asumsi dari semboyan
tersebut. Sebab jika tidak, sekalipun tampaknya pendidik tersebut seperti
melaksanakan peranan sesuai semboyan “tut wuri handayani” namun perbuatannya tidak mencerminkan daris emboyan tersebut.
Bahkan mungkin bersikap
bertentangan, misalnya pendidik
tidak menghargai perbedaan
dan keunikan yang dimiliki
oleh peseta didik dan merasa sebagai penguasa tunggal dalam pembelajaran. Sebaliknya, jika pendidik memahami dan
meyakini asumsi- asumsi dalam
semboyan “tut wuri handayani”, yaitu kodrat alam dan kebebasan siswa, maka pendidik akan dengan sadar dan
mantap melaksanakan peranannya. Berdasarkan
contoh tersebut jelas kiranya bahwa asumsi atau landasan pendidikan akan
berfungsi sebagai titik tolak atau acuan bagi para pendidik
professional dalam melaksanakan praktik pendidikan. Pada
bagian ini, Anda akan belajar mengenai macam-macam
landasan konseptual ilmu pendidikan yang terdiri dari landasan filosofis, landasan empiris, yuridis,
dan landasan religi.
1)
Landasan Filosofis
Landasan filosofis pendidikan adalah pandangan-pandangan
yang bersumber dari filsafat
pendidikan mengenai hakikat manusia, hakikat
ilmu, nilai serta perilaku yang dinilai baik dan dijalankan setiap
lembaga pendidikan. Filosofis artinya
berdasarkan filsafat pendidikan (Umar & Sulo
2010: 97). Filsafat (philosophy) berasal
dari kata philos dan shopia.
Philos berarti cinta dan shopia berarti kebijaksanaan,
pengetahuan dan hikmah dalam Rukiyati (2015: 1). Filsafat
menelaah sesuatu secara radikal, menyeluruh dan konseptual yang menghasilkan konsepsi-
konsepsi mengenai kehidupan
dan dunia. Dalam pendidikan yang menjadi pokok utama adalah manusia, maka landasan
filosofis pendidikan adalah untuk menjawab
apa sebenarnya hakikat
manusia. Berdasarkan sudut
pandang pedagogik, sebagaimana dikemukakan oleh M.J Langeveld (1980) pendidikan berlangsung dalam pergaulan antara orang dewasa dengan anak atau orang yang belum
dewasa dalam suatu lingkungan. Anak atau orang yang belum dewasa adalah
sebagai sesuatu “kemungkinan”
yang pada dasarnya
baik. Menurut Langeveld
dalam perjalanannya manusia bisa menjadi baik atau tidak baik,
sehingga pendidikanlah yang memiliki andil untuk menjadikannya baik.
Salah satu tujuan pendidikan adalah
untuk mencapai kepribadian individu yang lebih baik (pedagogik) dan ke arah yang positif.
Pendidikan sama sekali bukan untuk merusak kepribadian anak atau membawa
mereka ke arah yang negatif
seperti memberi bekal pengetahuan atau keterampilan bagaimana menjadi penjahat, pencuri
dan sebagainya (demagogik). Teori- teori pendidikan seperti essensialisme, behaviorsisme, perenialisme, progresivisme,
rekronstruktivisme dan humanisme merupakan teori yang berdasarkan pada filsasat tertentu yang akan mempengaruhi konsep
dan praktik pendidikan (Umar & Sulo
2010: 88).
Esensialisme merupakan mahzab filsafat
pendidikan yang menerapkan prinsip idealisme dan
realisme secara eklektis. Berdasarkan eklektisme tersebut
maka esensialisme menitik-beratkan penerapan prinsip-prinsip
idealisme atau realisme dengan tidak meleburkan prinsip- prinsipnya. Filsafat idealisme memberikan dasar tinjauan yang
realistis seperti dalam bidang matematika, karena matematika adalah alat menghitung dari apa-apa yang riil,
materiil dan nyata.
Perenialisme hampir sama dengan essensialisme, tetapi lebih menekankan pada keabadian atau ketetapan atau kenikmatan
yaitu hal-hal yang ada sepanjang
masa (Imam Barnadib
1988:34). Perenialisme mementingkan hal-hal berikut: (a) pendidikan yang abadi; (b) inti pendidikan yaitu mengembangkan keunikan
manusia yaitu kemampuan berfikir; (c)
tujuan belajar yaitu untuk mengenal kebenaran abadi dan universal; (d) pendidikan merupakan persiapan bagi hidup yang sebenarnya;
(c) kebenaran abadi diajarkan melalui pelajaran dasar yang mencakup
bahasa, matematika, logika
dan IPA dan Sejarah.
Progresivisme yaitu perubahan untuk maju. Manusia
akan mengalami perkembangan apabila berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya berdasarkan pemikiran. Progresivisme atau gerakan pendidikan
progresif mengembangkan teori pendidikan yang berdasar pada
beberapa prinsip. Progresivisme
menggunakan prinsip pendidikan sebagai berikut :
(a)
Proses pendidikan ditemukan dari
asal, tujuan dan maksud yang ada pada
siswa termasuk di dalamnya minat siswa; (b) siswa itu aktif bukan pasif; (c) peran guru sebagai penasehat,
pemberi petunjuk, dan mengikuti keinginan siswa, bukan otoriter
dan direktur di kelas; (d) sekolah merupakan
bentuk kecil dari sebuah masyarakat; (e) aktifitas kelas berpusat pada problem solving bukan
mengajarkan berbagai mata pelajaran; (f) suasana sosial kelas kooperatif
dan demokratis.
Rekonstruksionalisme adalah suatu
kelanjutan yang logis dari cara berpikir
progesif dalam pendidikan. Individu tidak hanya belajar tentang pengalaman-pengalaman kemasyarakatan masa kini di sekolah tetapi haruslah mempelopori masyarakat ke arah masyarakat baru yang diinginkan. Dalam pengertian lain,
rekonstruksionisme adalah mahzab filsafat
pendidikan yang menempatkan sekolah atau lembaga pendidikan sebagai
pelopor perubahan masyarakat.
Behaviorisme memiliki beberapa akar atau
sumber ideologi atau filsafat yaitu realisme dan positivisme. Behaviorisme pendidikan memandang
perilaku siswa ditentukan oleh stimulus dan respon. Tokoh dari konsep ini adalah Pavlov,
Skinner dan Thorndike. Humanisme merupakan
kelanjutan dari prinsip progresivisme karena telah menganut banyak prinsip dari aliran tersebut
seperti pendidikan yang berpusat pada siswa, guru tidak otoriter fokus terhadap aktivitas dan partisipasi siswa.
Pancasila sebagaimana yang dirumuskan
dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan
landasan filosofis pendidikan Indonesia (Arif Rohman, 2013). Hakikat hidup Bangsa Indonesia adalah berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa dan perjuangan yang
didorong oleh keinginan luhur untuk mencapai
dan mengisi kemerdekaan, selanjutnya yang menjadi keinginan luhur
Bangsa Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 2
Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang
“Sistem Pendidikan Nasional”
menjelaskan bahwa
pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Tujuan pendidikan Bangsa Indonesia yaitu
pembentukan manusia Indonesia yang ideal yaitu manusia seutuhnya
yang diwarnai oleh sila-sila Pancasila. Manusia ideal adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesejahteraan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri
serta memiliki rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan ini mengoperasionalkan manusia Indonesia seutuhnya dan juga
mengoperasionalkan wujud sila- sila dalam diri peserta
didik. Perlu ditegaskan bahwa pengamalan Pancasila
dalam bidang pendidikan seharusnya menyeluruh dan utuh mencerminkan lima sila dalam Pancasila
sebagai yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Sedangkan ketetapan MPR RI No II/1978
tentang Pedoman Penghayatan
Pengamalan Pancasila menegaskan pula bahwa pancasila
itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa
Indonesia dan dasar Negara Republik Indonesia.
Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud Bangsa
Indonesia dan masyarakat yang dianggap baik. Sumber dari seluruh
sumber nilai yang diyakini menjadi pangkal serta bermuaranya setiap keputusan dan tindakan dalam pendidikan. Dengan kata lain, pancasila sebagai sumber sistem nilai dalam
pendidikan.
Seperti kita ketahui bahwa pendidikan
itu memiliki objek telaah, bertujuan, memiliki kegiatan dan metode, yang secara detail
dibahas dalam filsafat ontologi, aksiologi dan
epistemologi. Secara ontologi pendidikan memiliki
objek telaah yang riil yaitu manusia. Ontologi sendiri diartikan sebagai suatu cabang filsafat atau ilmu
yang mempelajari suatu yang ada atau berwujud
berdasarkan logika sehigga
dapat diterima oleh akal manusia
yang bersifat rasional
dapat difikirkan dan sudah terbukti
keabsahaanya. Aspek ontologi
dari pendidikan haruslah
diuraikan secara
metodis, sistematis, koheren,
rasional, komprehensif, radikal,
serta universal.
Jika dilihat dari sudut pandang
filsafat aksiologi, pendidikan bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan ke
arah yang positif. Aksiologi sendiri
dapat diartikan sebagai
ilmu yang mempelajari tentang tujuan ilmu
pengetahuan atau hakikat dan manfaat yang
sebenarnya dari pengetahuan. Aksiologi juga dipahami sebagai teori nilai yang menggunakan penilaian etika
dan estetika. Etika berfokus pada perilaku,
norma dan adat istiadat manusia, sedangkan estetika membahas tentang
nilai keindahan. Suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat
selaras serta berpola
baik melainkan harus juga mempunyai
kepribadian.
Epistemologi merupakan bagian dari
filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber,
metode, struktur dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Objek material epistimologi adalah pengetahuan, sedangkan objek formalnya adalah hakekat pengetahuan. Landasan epistimologi pendidikan adalah pandangan-pandangan yang bersumber dari cabang filsafat epistimologi yang disebut juga
teori mengetahui dan pengetahuan (Kadir,
2015). Epistimologi erat kaitannya dengan pendidikan khususnya untuk
kegiatan belajar mengajar
di kelas. Epistimologi membahas konsep- konsep dasar yang sangat umum dari proses
mengetahui sehingga erat kaitannya
dengan metode pengajaran dan pembelajaran.
Guru-guru di dalam kelas memberikan
berbagai jenis pengetahuan sesuai dengan disiplin ilmunya
masing-masing. Dalam praktik
pembelajaran alangkah baiknya apabila guru mengetahui berbagai jenis pengetahuan yang diberikannya, apa sumber
pengetahuan tersebut dan bagaimana
tingkat kepercayaan terhadap pengetahuan tersebut. Hal ini akan membantu guru untuk menyeleksi bahan
ajar dan penekananya pada materi tertentu dalam mengajar.
Terdapat empat jenis pengetahuan menurut
taksonomi Bloom (Lorin
W Anderson & David R. Krathwohl, 2010). Jenis-jenis pengetahuan
tersebut meliputi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dan metakognitif.
Pengetahuan faktual meliputi elemen-elemen dasar yang harus diketahui siswa ketika akan mempelajari disiplin
ilmu atau menyelesaikan masalah dalam disiplin ilmu
tersebut. Pengetahuan faktual terdiri dari dua sub jenis: (a) Pengetahuan tentang
terminologi. Pengetahuan ini
melingkupi pengetahuan tentang label dan simbol verbal dan nonverbal (misalnya, kata, angka, tanda dan gambar),
(b) Pengetahuan tentang detail-detail dan elemen-elemen
yang spesifik. Pengetahuan ini merupakan
pengetahuan tentang peristiwa, lokasi, orang, tanggal, sumber informasi dan semacamnya. Pengetahuan ini meliputi informasi
yang mendetail dan spesifik.
Pengetahuan konseptual mencakup
pengetahuan tentang kategori, klasifikasi
dan hubungan antar dua atau lebih kategori atau klasifikasi pengetahuan yang lebih kompleks dan
tertata. Pengetahuan konseptual meliputi
skema, model mental, atau teori yang implisit atau eksplisit dalam
beragam model psikologi kognitif.
Pengetahuan konseptual terdiri
dari tiga sub jenis: (a) Pengetahuan tentang
klasifikasi dan kategori. Pengetahuan ini meliputi
kategori, kelas, divisi dan susunan
yang spesifik dalam disiplin-disiplin
ilmu. Perlunya klasifikasi dan kategori dapat digunakan untuk menstrukturkan dan mensistematisasikan fenomena.
Pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori lebih umum dan sering
lebih abstrak daripada pengetahuan tentang terminologi dan fakta-fakta yang spesifik.
(b)
Pengetahuan tentang prinsip dan
generalisasi. Prinsip dan generalisasi dibentuk oleh klasifikasi dan kategori. Umumnya
merupakan bagian yang dominan dalam sebuah disiplin
ilmu dan digunakan
untuk mengkaji fenomena
atau menyelesaikan masalah-masalah dalam disiplin ilmu tersebut. pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi mencakup
pengetahuan tentang abstraksi-abstraksi tertentu yang meringkas hasil- hasil pengamatan terhadap
suatu fenomena. (c) Pengetahuan tentang
teori, model, dan struktur. Pengetahuan ini meliputi pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi serta antara keduanya
yang menghadirkan pandangan
yang jelas, utuh dan sistemik tentang sebuah fenomena,
masalah, atau materi kajian yang kompleks.
Pengetahuan tentang teori, model, dan struktur mencakup
pengatahuan tentang berbagai
paradigma, epistemologi, teori dan model yang digunakan dalam disipin-disiplin ilmu
untuk mendeskripsikan, memahami,
menjelaskan dan memprediksi fenomena.
Pengetahuan prosedural meliputi bagaimana melakukan sesuatu, mempraktikkan metode-metode penelitian, dan kriteriakriteria untuk menggunakan
ketrampilan, algoritma, teknik dan metode. Pengetahuan prosedural bergulat dengan pertanyaan “bagaimana”, dengan kata
lain pengetahuan prosedural merupakan
pengetahuan tentang beragam proses. Pada
pengetahuan ini terdiri dari tiga subjenis: (a) Pengetahuan tentang keterampilan dalam bidang tertentu
dan algoritme. (b) Pengetahuan tentan
teknik dan metode dalam bidang tertentu. Pengetahuan ini mencakup
pengetahuan yang umumnya
merupakan hasil konsensus, kesepakatan atu ketentuan dalam disiplin ilmu, bukan
hasil pengamatan atau eksperimen atau
penemuan langsung. Pada umumnya pengetahuan ini menunjukkan bagimana para ilmuan dalam bidang mereka
berpikir dan menyelesaikan masalah-masalah,
bukan hasil penyelesaian masalah atau pemikiran. (c) Pengetahuan tentang kriteria
untuk menentukan kapan harus menggunakan prosedur yang tepat.
Pengetahuan metakognitif meliputi pengetahuan tentang
kognisi secara umum dan kesadaran
dan pengeahuan tentang
kognisi diri sendiri.
Pada pengetahuan ini meliputi tiga subjenis.
(a) Pengetahuan strategis. Pengetahuan strategis merupakan
pengetahuan perihal strategi-strategi
belajar dan berpikir serta pemecahan masalah.
Pengetahuan ini mencakup
strategi-strategi umum umum untuk menyelesaikan masalah (problem solving)
dan berpikir. (b) Pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif. (c) Pengetahuan diri. Pengetahuan ini mencakup pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri sendiri dalam kaitannya kognisi
dan belajar.
2)
Landasan Yuridis
Landasan yuridis pendidikan adalah aspek-aspek hukum yang mendasari
dan melandasi penyelenggaraan pendidikan (Arif Rohman,
2013). Pendidikan tidak berlangsung dalam ruang hampa melainkan ada dalam lingkungan masyarakat tertentu
dengan norma dan budaya yang melekat di dalamnya. Oleh karena itu, pendidikan melekat
pada masyarakat, kemudian
masyarakat tersebut menginginkan pendidikan yang sesuai dengan latar belakangnya. Supaya pendidikan tidak melenceng
dari jalurnya maka perlu diatur dalam regulasi yang berlaku di masyarakat/negara. Sistem pendidikan di
Indonesia diatur oleh Undang- Undang Dasar 1945 yang kemudian dijabarkan dalam peraturan-peraturan hukum lainnya seperti,
Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia, ketetapan MPR. Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden dan peraturan pelaksana lainnya seperti
Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan
lain-lain. Aturan sistem pendidikan tersebut tetap didasarkan pada falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila.
Berikut ini beberapa landasan hukum sistem pendidikan di Indonesia (Hasbullah, 2008):
a)
Pasal 31 UUD 1945 tentang Pendidikan Nasional
(1)
Ayat 1 menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
(2)
Ayat 2 menyatakan bahwa setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3)
Ayat 3 menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan ketaqwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
(4)
Ayat 4 menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD
untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5)
Ayat 5 menyatakan bahwa pemerintah memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama
dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia
b)
Undang-Undang tentang
pokok pendidikan dan kebudayaan
(1)
UU No 20 Tahun 2003 Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 1 dan 2
(a)
Ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses
pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa
dan negara.
(b)
Ayat 2 menyatakan bahwa pendidikan nasional
ialah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1045 yang berakar pada nilai-nilai
agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
(2)
UU
No 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen.
Undang-undang ini memuat 84
pasal tentang ketentuan profesi guru dan dosen di Indonesia
(3) UU No 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan.
c)
Peraturan Pemerintah
(1)
Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2015 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP).
(2)
Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2006 tentang standar
Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
(3)
Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2006 Tentang Standar
Kompetensi Lulusan.
(4) Peraturan Pemerintah No 74 Tahun
2008 Tentang Guru.
(5) Peraturan Menteri
No. 13 Tahun 2007 Tentang
Kepala Sekolah.
(6)
Peraturan Menteri No 16 Tahun 2007 dan No 32 Tahun 2008 tentang
Guru.
(7)
Peraturan Menteri No 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan.
(8) Peraturan Menteri
No 20 Tahun 2007 tentang
Standar Penilaian.
(9) Peraturan Menteri No 24 Tahun 2007 dan Permen No. 33 Tahun 2008
tentang Standar Sarana dan Prasarana.
(10) Peraturan Menteri
No 41 Tahun 2007 tentang
Standar Proses.
(11) Peraturan Menteri
No 47 Tahun 2008 tentang
Standar Isi.
(12) Peraturan Menteri
No 24 Tahun 2008 tentang
TU.
(13) Peraturan Menteri
No 25 Tahun 2008 tentang
Perpustakaan.
(14) Peraturan Menteri
No 26 Tahun 2008 tentang Laboratorium.
3)
Landasan Empiris
a)
Landasan Psikologis
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari
gejala kejiwaan yang ditampakkan
dalam bentuk perilaku baik manusia ataupun hewan, yang pemanfaatannya untuk kepentingan individu atau manusia baik disadari
ataupun tidak, yang diperoleh melalui
langkah-langkah ilmiah
tertentu serta mempelajari penerapan dasar-dasar atau prinsip- prinsip, metode, teknik, dan pendekatan
psikologis untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah dalam pendidikan (Santrock, 2017). Proses kegiatan pendidikan melibatkan kegiatan yang menyangkut interaksi
kejiwaan antara pendidik
dan peserta didik
dalam suasana nilai- nilai budaya suatu masyarakat yang didasarkan pada nilia-nilai kemanusiaan. Pendidikan
selalu melibatkan aspek- aspek yang
tidak dipisahkan satu sama lain yaitu aspek kejiwaan, kebudayaan, kemasyarakatan, norma-norma, dan kemanusiaan.
Landasan psikologi dalam pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari studi ilmiah tentang
kehidupan manusia pada umumnya serta
gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek pribadi manusia pada setiap tahapan usia perkembangan tertentu
untuk mengenali dan menyikapi manusia
yang bertujuan untuk memudahkan proses pendidikan (Robandi,
2005:25). Pendidikan harus mempertimbangkan aspek psikologi peserta
didik sehingga peserta
didik harus di pandang sebagai
subjek yang akan berkembang sesuai
dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Sekurang- kurangnya terdapat tiga prinsip umum perkembangan peserta
didik sebagai manusia yaitu (1)
perkembangan setiap individu menunjukan perbedaan dalam kecepatan dan irama; (2) perkembangan berlangsung relatif, teratur dan (3)
perkembangan berlangsung secara bertahap.
Landasan psikologi pendidikan
mencakup dua ilmu yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi
perkembangan adalah ilmu-ilmu
yang mempelajari tingkah
laku individu dalam perkembangannya meliputi
perkembangan fisik, psikologi, sosial, emosional, emosi dan moral.
Terdapat tiga teori
pendekatan tentang perkembangan menurut Syaodih (2004) yaitu (1) Pendekatan Pentahapan. Perkembangan individu berjalan
melalui tahapan-tahapan tertentu.
Pada setiap tahap memiliki ciri-ciri
khusus yang berbeda
dengan ciri-ciri pada tahap-tahap yang lain. (2) Pendekatan Diferensial. Pendekatan ini memandang individu- individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dan
perbedaan-perbedaan. Atas dasar ini lalu orang membuat
kelompok-kelompok. Anak- anak yang memiliki
kesamaan dijadikan satu kelompok. Maka
terjadilah kelompok berdasarkan jenis kelamin, kemampuan
intelek, bakat, ras, agama, status
sosial ekonomi, dan sebagainya. (3) Pendekatan Ipsatif.
Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu, dapat saja disebut
sebagai pendekatan individual
(melihat perkembangan seseorang
secara individual). Dari ketiga pendekatan ini, yang paling banyak
dilaksanakan adalah pendekatan pentahapan. Pendekatan pentahapan ada dua macam yaitu yang bersifat
menyeluruh dan yang bersifat khusus.
Yang menyeluruh akan mencakup segala aspek perkembangan sebagai faktor yang diperhitungkan dalam menyusun tahap-tahap perkembangan. Sedangkan yang bersifat khusus hanya
mempertimbangkan faktor tertentu saja sebagai dasar menyusun tahap-tahap perkembangan anak, misalnya pentahapan Piaget, Koglberg, dan Erikson.
Menurut Piaget terdapat empat perkembangan kognisi
anak (Budingsih, 2004)
yaitu (1) periode
sensori motor pada usia 0-2 tahun, pada usia ini kemampuan anak terbatas
pada gerak-gerak refleks (2) periode
praoperasonal yaitu usia 2-7 tahun, perkembangan bahasa pada usia ini sangat pesat,
peranan intuisi dalam memutuskan sesuatu
masih besar, (3) periode operasi konkret usia 7-11 tahun, anak sudah dapat berpikir logis, sistematis dan memecahkan masalah
yang bersifat konkret. (4)
peirode operasi formal usia 11-15 tahun anak-
anak sudah dapat berpikir logis terhadap masalah baik yang bersifat konkret maupun abstrak. Anak pada tahap
ini dapat membentuk ide- ide dan masa
depannya secara realistis. Selanjutnya menurut Bruner (Budiningsih, 2004) perkembangan kognisi anak meliputi (1) tahap enaktif, anak melakukan aktivitas-aktivias
dalam upaya memahami lingkungan. (2) tahap ikonik,
anak memahami dunia melalui gambaran-gambaran dan visualiasi verbal.
(3) tahap simbolik, anak telah
memiliki gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika.
Perkembangan kognisi menurut Lawrence
Kohlberg (Syaodih, 2004) yaitu:
(1) Tingkat Prekonvensional
(a)
Tahap orientasi kepatuhan dan
hukuman, seperti kebaikan, keburukan, ditentukan oleh orang itu dihukum atau tidak.
(b)
Tahap orientasi egois yang naif,
seperti tindakan yang betul ialah yang memuaskan
kebutuhan seseorang.
(2) Tingkat Konvensional
(a)
Tahap orientasi anak baik, seperti
perilaku yang baik adalah bila disenangi orang lain.
(b)
Tahap orientasi mempertahankan peraturan
dan norma nanasosial, seperti perilaku yang baik ialah yang sesuai dengan harapan keluarga, kelompok atau bangsa.
(3) Tingkat Post-Konvensional
(a)
Tahap orientasi kontrak sosial yang legal, yaitu tindakan
yang mengikuti standar
masyarakat dan mengkonstruksi aturan baru.
(b)
Tahap orientasi prinsip etika
universal, yaitu tindakan yang melatih kesadaran
mengikuti keadilan dan kebenaran universal.
Terdapat delapan tahap perkembangan
Afeksi menurut Erikson yaitu (1) bersahabat versus menolak pada umur 0 -1 tahun, (2) otonomi
versus malu dan ragu-ragu pada umur 1 -3 tahun,
(3) Inisiatif versus
perasaan bersalah pada umur 3 -5 tahun (4) Perasaan
Produktif versus rendah diri pada umur 6 -11 tahun, (5) Identitas
versus kebingungan pada umur
12 – 18 tahun, (6) Intim versus mengisolasi diri pada umur 19 – 25 tahun, (7) Generasi versus
kesenangan pribadi pada umur 25 – 45 tahun, (8) Integritas versus
putus asa pada umur 45 tahun ke atas.
Psikologi belajar membahas tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi individu belajar dan
bagaimana individu belajar yang dikenal
dengan istilah teori belajar (Pidarta, 2007). Psikologi belajar yang berkembang sampai saat ini, pada dasarnya
dapat dikelompokan menjadi
3 kelas, antara lain:
(1)
Teori disiplin
daya/disiplin mental (faculty
theory).
Menurut
teori ini anak sejak dilahirkan memiliki potensi atau daya
tertentu (faculties) yang masing–masing memiliki fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya berpikir,
daya mencurahkan pendapat,
daya mengamati, daya memecahkan masalah,
dan sejenisnya.
(2) Behaviorisme.
Dalam
aliran behaviorisme ini, terdapat 3 rumpun teori yang mencakup teori koneksionisme/asosiasi,
teori kondisioning, dan teori operant conditioning (reinforcement). Behaviorisme menganggap bahwa perkembangan individu tidak muncul dari hal yang bersifat mental, perkembangan
hanya menyangkut hal yang bersifat
nyata yang dapat dilihat dan diamati. Belajar
merupakan upaya untuk membentuk hubungan
stimulus – respon
seoptimal mungkin. Tokoh utama teori ini yaitu Edward L. Thorndike.
(3) Organismic/Cognitive Gestalt Field.
Menurut
teori ini keseluruhan lebih bermakna daripada
bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai makhluk yang
melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan
ini dijalin oleh stimulus dan
respon. Stimulus yang hadir diseleksi menurut tujuannya, kemudian individu melakukan
interaksi dengannya terus-menerus sehingga terjadi suatu proses pembelajaran. Belajar menurut teori ini bukanlah
sebatas menghapal tetapi
memecahkan masalah, dan metode belajar
yang dipakai adalah metode ilmiah
dengan cara anak didik dihadapkan pada suatu permasalahan yang cara penyelesaiannya diserahkan kepada masing-masing anak didik yang pada
akhirnya peserta didik dibimbing untuk mengambil suatu
kesimpulan bersama dari apa yang telah
dipelajari.
b)
Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis bersumber pada norma kehidupan
masyarakat yang dianut
oleh suatu bangsa
sehingga tercipta nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi
oleh masing-masing anggota
masyarakat (Robandi, 2005: 26). Di dalam masyarakat
terdapat struktur sosial dan dalam struktur tersebut setiap inividu menduduki status dan peran
tertentu. Sumantri dan Yatimah (2017)
menjelaskan bahwa masyarakat dapat diidentifikasi melalui lima unsur yaitu:
a) adanya sekumpulan manusia yang hidup
bersama,
b)
melakukan interaksi sosial dalam waktu yang lama, c) saling bekerjasama, memiliki keturunan, dan berbagai macam kebutuhan, d) memiliki kesadaran
sebagai suatu kesatuan
atau unity, e) suatu sistem
hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan sehingga masing- masing
individu merasa terikat satu
sama lain.
Manusia pada hakikatnya sebagai makhluk
bermasyarakat dan berbudaya, oleh karena itu masyarakat menuntut
setiap individu mampu hidup demikian.
Namun karena manusia
tidak secara otomatis
mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya maka masyarakat melakukan pendidikan atau sosialisasi dan
atau enkulturasi. Dengan demikian
diharapkan setiap individu
mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya
sehingga tidak terjadi penyimpangan tingkah laku terhadp sisten nilai dan norma.
Dalam
konteks pendidikan Menurut
Bloom (1956) Manusia
sebagai bagian dari masyarakat mengalami perkembangan perilaku individu
yaitu pada kawasan
kognitif, psikomotor, dan afektif. Kawasan kognitif adalah segala upaya yang
mencakup aktivitas otak. Kawasan
afektif mencakup segala sesuatu yang terkait dengan emosi misalnya perasaan, nilai, penghargaan,
semangat, motivasi dan sikap. Dan
kawasan psikomotor meliputi gerakan dan koordinasi jasmani, keterampilan motorik dan kemampuan
fisik. Pada kawasan
kognitif
terdapat tingkatan ranah belajar yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis
dan evaluasi. Pada kawasan afektif
terdiri dari ranah yang behubungan dengan respons emosional
terhadap tugas yaitu
penerimaan, partisipasi, penilaian
atau penentuan sikap,
organisasi dan pembentukan pola hidup. Pada kawasan psikomotor yang berkaitan dengan keterampilan jasmani
terdiri dari ranah persepsi,
kesiapan, gerakan yang terbimbing gerakan yang terbiasa, gerakan yang komplek,
penyesuaian pola gerakan dan kreativitas.
Agar manusia mampu hidup bermasyarakat
dan berbudaya maka perlu ada keseimbangan antar kawasan kognitif,
afektif dan psikomotor sebagai wujud dari pengembangan karakter.
Pengembangan karakter dilakukan
secara sistematis dan berkesinambungan melalui
pendidikan yang lebih menonjolkan kawasan-kawasan afektif dan psikomotor melalui penekanan bagaimana
mengevaluasi perilaku, akhlak dan moral daripada menonjolkan kawasan kognitif semata.
Landasan sosiologis pendidikan di
Indonesia menganut paham integralistik
yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat. Ciri dari paham integralistik adalah (1) kekeluargaan dan gotong
royong kebersamaan, musyawarah mufakat; (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan
hidup bermasyarakat; (3) negara melindungi warga negaranya; (4) selaras dan seimbang antara hak dan kewajiban.
Oleh karena itu pendidikan di Indonesia tidak
hanya meningkatkan kualitas
manusia secara individu
melainkan juga meningkatkan kualitas struktur masyarakatnya.
Kajian sosiologi tentang pendidikan
pada dasarnya mencakup semua jalur
pendidikan. Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan berlangsung dalam lingkungan keluarga, lingkungan perguruan/sekolah dan lingkungan
masyarakat (Rahmat, 2012:52). Ketiga lingkungan pendidikan tersebut memberi
pengaruh yang dapat mengarah positif maupun negatif,
sehingga lingkungan pendidikan
berperan menjadi pusat berlangsungnya pendidikan untuk pertumbuhan dan
perkembangan pesert didik. Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya
(UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga). Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama
bagi perkembangan individu
anak, karena sejak kecil anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga.
Awal pendidikan anak sebenarnya diperoleh
melalui keluarga, dalam dunia pendidikan disebut pendidikan informal.
Pembelajaran yang terjadi
di dalam keluarga terjadi setiap hari pada saat
terjadi interaksi antara anak dengan keluarganya. Peran orangtua menjadi
panutan bagi anak-
anaknya. Dalam keluarga, orangtua mempunyai peran yang sangat penting
dalam membentuk dan mengembangkan karakter
dan kepribadian anak.
Sekolah sebagai institusi sosial
merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar
secara formal atau
disebut juga dengan pendidikan formal.
Sekolah memiliki fungsi
sebagai alat untuk melakukan perubahan-perubahan (agent of change),
sesuai dengan tuntutan zaman. Sekolah berfungsi sebagai alat untuk mengintrodusir nilai-nilai baru yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas
hidup dan kehidupan
masyarakat tanpa meninggalkan nilai lama yang perlu dipertahanlan agar dapat diadopsi
oleh masyarakat, demi mengadaptasi perkembangan teknologi dan pengetahuan, yang pada akhirnya
bertujuan agar kehidupan
masyarakat lebih berkualitas.
Tugas utama sekolah yaitu berupaya untuk
menciptakan proses pembelajaran
secara efektif dan efisien untuk mengantarkan peserta didik mencapai prestasi yang memuaskan. Sekolah sebagai sistem sosial adalah suatu upaya untuk memahami
tujuan, peran, hubungan dan perilaku
berbagai komponen pendidikan di sekolah dalam
setting
sosial. Terdapat dua elemen
dasar sekolah sebagai sistem sosial yaitu
(1)
institusi, peran dan harapan dalam
menentukan norma bersama atau dimensi
sosial, (2) individual, personalitas dan pemenuhan
kebutuhan yang merupakan
dimensi psikologis. Sekolah
sebagai sistem sosial diharapkan mampu mencapai moral kerja anggota
organisasi yang efektif,
efisien dan memuaskan
melalui integrasi kebutuhan individu dan kebutuhan organisasi.
Masyarakat sebagai media transformasi
sosial dapat dikatakan bahwa masyarakat merupakan sekumpulan manusia
yang saling berinterkasi dalam suatu hubungan sosial.
Anak dalam pergaulannya di dalam masyarakat tentu banyak berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung misalnya
anak bermain dengan
teman-temannya di luar rumah, sedangkan
secara tidak langsung
misalnya anak melihat
kejadian-kejadian yang dipertontonkan oleh masyarakat. Keberhasilan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh proses pendidikan di
sekolah dan tersedianya sarana prasarana, tetapi juga ditentukan oleh lingkungan keluarga
dan atau masyarakat sehingga pendidikan merupakan
tanggung jawab bersama antara
pemerintah (sekolah), keluarga dan masyarakat. Hal ini berarti orang tua murid dan masyarakat memiliki tanggung
jawab untuk ikut berpartisipasi dan memberikan dukungan
dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Terdapat hubungan saling menguntungkan antara sekolah dengan
masyarakat yaitu dalam bentuk hubungan
saling memberi, saling melengkapi, dan saling menerima
sebagai partner. Sekolah
pada hakekatnya mempunyai
fungsi ganda terhadap
masyarakat yatiu sebagai agen pembaharuan bagi masyarakat
sekitarnya dan memberi pelayanan. Dengan hubungan yang harmonis tersebut
terdapat beberapa manfaat
pelaksanaan hubungan sekolah dengan masyarakat
yaitu (1) memperbesar dorongan mawas diri yaitu pengawasan terhadap kualitas penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat
melalui dewan pendidikan dan komite sekolah,
(2) meringankan beban sekolah dalam memperbaiki serta meingkatkan kualitas
penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah, (3) opini masyarakat terhadap sekolah alan lebih
positif dan benar,
(4) meningkatkan upaya
peningkatan profesi mengajar guru, (5) masyarakat akan ikut serta memberikan kontrol/koreksi terhadap
sekolah, (6) dukungan moral masyarakat
akan tumbuh terhadap sekolah sehingga memudahkan mendapatkan bantuan material
dan penggunaan berbagai
sumber termasuk nara sumber
dari masyarakat. Sedangkan bagi masyarakat dengan adanya hubungan yang harmonis antar sekolah dengan masyarakat
maka (1) masyarakat/orang tua akan mengerti tentang berbagai hal yang menyangkut penyelenggaraan pendidikan di sekolah,
(2) keinginan dan harapan masyarakat dapat mudah disampaikan dan di realisasikan oleh
pihak sekolah, (3) masyarakat mendapat
kesempatan untuk memberikan saran usul, maupun kritik untuk membantu
menciptakan kualitas sekolah.
c)
Landasan Historis
Landan historis pendidikan nasional di
Indonesa tidak terlepas dari sejarah
bangsa indonesia itu sendiri. Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang
sejak zaman Kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit
sampai datangnya bangsa lain yang
menjajah serta menguasai bangsa Indonesia. Dengan kata lain, tinjauan
landasan sejarah atau historis Pendidikan Nasional Indonesia merupakan pandangan ke masa lalu atau pandangan retrospektif. Pandangan ini melahirkan studi-studi historis tentang
proses perjalanan pendidikan
di Indonesia yang terjadi pada periode tertentu di masa yang lampau.
Dilihat
dari pendidikan di masa lampau Indonesia dapat
dikelompokan menjadi enam tonggak sejarah (Robandi, 2005) yaitu
(a) pendidikan tradisional yaitu penyelenggaraan pendidikan di
nusantara yang dipengaruhi oleh agama-agama besar di dunia
seperti Hindu, Budha, Nasrani dan
Nasrani. (b) pendidikan kolonial barat yaitu
penyelenggaraan pendidikan dinusantara yang dipengaruhi oleh pemerintah kolonial barat terutama
kolonial Belanda (c) pendidikan kolonial
jepang yaitu penyelenggaraan pendidikan dinusantara yang dipengaruhi oleh pemerintah kolonial jepang pada masa perang
dunia II (d) pendidikan
zaman kemerdekaan, (e) pendidikan zaman orde
lama dan baru, (f) pendidikan zaman reformasi yaitu penyelenggaraan pendidikan dengan sistem pendidikan
desentralisasi. Kondisi historis dari keenam tonggak sejarah
pendidikan tersebut mempunyai
implikasi terhadap penyelenggaraan pendidikannya dalam hal tujuan pendidikan, kurikulum/isi pendidikan, metode pendidikan dan pengelolaanya
serta kesempatan pendidikan.
4)
Landasan Religi
Landasan religi adalah asumsi-asumsi
yang bersumber dari religi atau agama
yang menjadi titik tolak dalam rangka praktik pendidikan dan atau studi pendidikan (Hasubllah, 2008). Landasan
religius ilmu pendidikan bertolak dari hakikat
manusia yaitu (1) Manusia sebagai
makhluk Tuhan YME; (2) Manusia
sebagai kesatuan badan
dan rohani; (3) Manusia
sebagai makhluk individu, (4) Manusia sebagai makhluk sosial. Manusia adalah mahkluk Tuhan YME.
Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan
konsekuensi fungsi dan tugas manusia
sebagai khilafah dimuka bumi ini. Manusia adalah subjek yang memiliki kesadaran
(consciousness) dan penyadaran diri (self-awarness). Oleh karena itu,
manusia adalah subjek yang menyadari
keberadaannya, ia mampu membedakan
dirinya dengan segala sesuatu yang
ada di luar dirinya (objek). Selain
itu, manusia bukan saja mampu berpikir tentang
diri dan alam sekitarnya, tetapi
sekaligus sadar tentang
pemikirannya. Namun, sekalipun manusia menyadari perbedaannya
dengan alam bahwa dalam konteks keseluruhan alam semesta manusia
merupakan bagian
daripadanya. Oleh sebab itu, selain mempertanyakan asal usul alam semesta tempat ia berada,
manusia pun mempertanyakan asal-usul keberadaan dirinya
sendiri.
Manusia adalah kesatuan jasmani dan
rohani yang hidup dalam ruang dan waktu, sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai berbagai kebutuhan, insting, nafsu, serta
mempunyai tujuan. Selain itu, manusia mempunyai potensi
untuk beriman dan bertakwa kepada
Tuhan YME dan potensi
untuk berbuat baik, potensi untuk mampu berpikir (cipta), potensi berperasaan (rasa), potensi berkehendak
(karsa), dan memiliki potensi untuk
berkarya. Adapun dalam eksistensinya manusia memiliki aspek individualitas, sosialitas, moralitas, keberbudayaan, dan keberagaman. Implikasinya maka manusia itu berinteraksi atau berkomunikasi, memiliki
historisitas, dan dinamika.
Agar manusia mampu menjadi khalifah
yang baik maka memerlukan pendidikan. Pendidikan harus berfungsi
memanusiakan manusia.
Pendidikan adalah humanisasi, sebagai humanisasi, pendidikan hendaknya dilaksanakan untuk membantu perealisasian/pengembangan berbagai
potensi manusia, yaitu potensi untuk mampu beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan YME,
berbuat baik, hidup sehat, potensi cipta, rasa,
karsa dan karya. Semua itu harus dikembangkan secara menyeluruh dan terintegrasi dalam konteks kehidupan
keberagamaan, moralitas, individualitas, sosial dan kultural.
Dalam
landasan religius, anak merupakan amanah sekaligus karunia
Tuhan YME, yang harus dijaga dan dibina karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai
manusia yang harus dijunjung tinggi.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) tentang hak-hak
anak. Anak memerlukan pendidikan akhlak yang
baik dalam proses tumbuh kembangnya. Jamaluddin (2012) memaparkan bahwa peran orangtua sangat penting dalam membentuk kepribadian anak pada masa yang akan
datang.
Dalam
rangka pencapaian pendidikan, setiap agama berupaya
untuk melakukan pembinaan
seluruh potensi manusia
secara serasi dan seimbang, karena dengan terbinanya seluruh potensi manusia
secara sempurna diharapkan ia dapat melakukan
fungsi pengabdian sebagai
khalifah di muka bumi. Potensi-potensi yang harus dibina
meliputi seluruh potensi yang dimiliki, yaitu potensi
spiritual, kecerdasan, perasaan dan kepekaan. Potensi-potensi tersebut merupakan kekayaan
dalam diri manusia
yang berharga. Untuk itu, diperlukan pendidikan untuk membentuk manusia menjadi insan yang mendekati
kesempurnaanatau memiliki kepribadian
yang utama. Pendidikan bagi anak berupaya untuk memberikan bimbingan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada
anak- anak dalam pertumbuhannya
(jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri
dan masyarakat. Untuk mempelajari lebih lanjut tentang landasan ilmu pendidikan dapat
diakses melalui link berikut: http://bit.ly/2rhxLEe
c.
Penerapan Landasan Ilmu Pendidikan dalam Praktik Pendidikan
1) Landasan Filosofis
Landasan filosofis pendidikan
telah melahirkan berbagai
aliran pendidikan yang muncul sebagai
implikasi dari aliran-aliran yang terdapat dalam
filsafat. Berbagai macam aliran filsafat
tersebut adalah idealisme,
realisme, pragmatisme. Landasan filsafat pendidikan memberikan prespektif filosofis yang seyogyanya merupakan acuan yang dikenakan dalam menyikapi serta melaksanakan kegiatan
pendidikan. Oleh karena
itu landasan filsafat
pendidikan dibentuk bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah
dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi, atau displin ilmu lainnya, akan tetapi dengan
memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatanny akepada kerangka konseptual kependidikan. Hal ini untuk mencapai
tujuan pendidikan itu sendiri yang seimbang, baik dari aspek kognitif, psikomotorik dan afektif.
Landasan filsafat
pendidikan tercermin di dalam semua keputusan serta
perbuatan pelaksanaan tugas-tugas pendidik baik instruksional
maupun non instruksioanal. Filsafat memberi rambu-rambu yang memadai dalam merancang serta mengimplementasikan
program pendidikan bagi guru dan tenaga pendidikan. Rambu-rambu yang dimaksud
disusun dengan mempergunakan
bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu
pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis
tugas pendidik serta pilihan nilai
yang dianut masyarakat. Rambu- rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaah interpretif, normative dan kritis dirumuskan kedalam
perangkat asumsi filosofis
yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta interpretatif program
yang dimaksud.
2)
Landasan Yuridis
Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa. Landasan
yuridis telah banyak memberikan kontribusi landasan dalam pelaksanaan praktik pendidikan di Indonesia, sebagai
contoh adalah penerapan
UU No.20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
(Syarifudin, 2006). Pada pasal 33 UU tersebut mengatur mengenai bahasa pegantar pendidikan nasional Indonesia
yaitu menggunakan Bahasa Indonesia, sedangkan bahasa asing digunakan untuk menunjang kemampuan
bahasa asing peserta didik dan bahasa daerah digunakan dapat digunakan sebagai
pengantar untuk mempermudah penyampaian pengetahuan. Pada
pasal 39, 40, 41, 42, 43, dan 44
mengatur tentang pendidik dan tenaga kependidikan, misalnya pada pasal 42 menjelaskan bahwa pendidik
harus mempunyai kualifikasi minimum
dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
3)
Landasan Empiris
a)
Landasan Psikologis
Penerapan landasan psikologis
dalam praktik pembelajaran, salah satunya dapat dilihat dari layanan pendidikan terhadap anak
dibuat bertingkat berdasarkan perkembangan individu yang bertahap
baik perkembangan biologis, kognitif, afektif maupun psikomotor, yang pada setiap perkemangannya setiap individu memiliki tugas-tugas yang harus
diselesaikannya. Contoh riil dari hal
tersebut adalah penyelanggaraan pendidikan di Indonesia yang berjenjang. Di Indonesia terdapat
pendidikan untuk anak usia dini atau PAUD, pendidikan untuk usia di bawah 6 tahun yang dimanakan
taman kanak-kanak atau TK, pendidikan sekolah dasar (SD/IT), sekolah menengah pertama (SMP/MTS), menengah atas (SMA/SMK/MA) dan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta,
merupakan program pendidikan yang dihasilkan berdasarkan perkembangan peserta didik yang beragam.
b)
Landasan Sosiologis
Implikasi landasan sosiologis dalam praktik pendidikan dapat tercermin melalui
adanya struktur sosial di berbagai
lingkungan pendidikan atau tri pusat pendidikan. Implikasi
landasan sosiologis di lingkungan keluarga
tercermin dengan adanya praktik pola asuh yang turun temurun dalam keluarga. Contoh
Orang tua rela berkorban membiayai pendidikan anak- anaknya agar status sosial anak meningkat. Implikasi landasan sosiologis di lingkungan sekolah terlihat
melalui adanya badan kerja sama antara sekolah
dengan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk wakil-wakil orang tua siswa, contoh pembentukan komite sekolah, mengundang nara sumber ke sekolah dari tokoh- tokoh penting di masyarakat seperti
ketua adat, atau ketua paguyuban. Di lingkungan masyarakat, implikasi landasan sosiologi tercermin dalam adanya proses
interaksi antar individu maupun kelompok
dan sosialisasi. Interkasi
ini menghasilkan budaya, adat dan norma yang berlaku dalam
masyarakat seperti norma susila dan
asusila. Contoh riil implikasi sosiologi dalam
pendidikan masyarakat di Indonesia adalah terdapat mata pelajaran
bermuatan lokal (Mulok) di masing-masing daerah sebagai
bentuk upaya melesetarikan budaya.
c)
Landasan Historis
Salah
satu implikasi landasan
historis dalam pendidikan adalah lahirnya pancasila, sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi
dasar negara Indonesia
secara obyektif historis
telah dimiliki oleh bangsa indonesia, Sehingga asal nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila tidak lain adalah jati diri bangsa indonesia yang berjuang menemukan jati
dirinya sebagai bangsa yang merdeka
dan memiliki suatu prinsip yang tersimpul dalam pandangan hidup serta filsafat hidup. Contoh implementasi Pancasila dalam praktik
pendidikan Nasional Indonesia
adalah Pancasila merupakan
konten utama dari mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKN) di sekolah
khususnya untuk jenjang
pendidikan SMP yang mencakup dua hal yaitu pertama materi perihal status, kedudukan dan fungsi
pancasila dalam kehidupan berbangsa
dan bernegera. Kedua materi perihal isi substansi yang terkandung dalam sila-sila
pancasila. Selanjutnya contoh lain implikasi landasan historis adalah adanya
sembonyan “tut wuri handayani” yaitu semboyan dari Ki Hadjar Dewantara
sebagai salah satu peranan yang harus
dilaksanakan oleh pendidik dan dijadikan semboyan
pada logo Kementerian Pendidikan Nasional.
4)
Landasan Religius
Landasan religius dalam bimbingan
dan konseling mengimplikasikan bahwa konselor sebagai
“helper” pemberi bantuan
untuk memiliki pemahaman akan nilai-nilai agama, dan komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling
kepada klien atau peserta didik. Konselor semestinya menyadari bahwa memberikan layanan bimbingan dan konseling
kepada klien merupakan salah satu kegiatan yang bernilai ibadah.
Agar bantuan layanan
yang
dilakukan itu bernilai ibadah harus didasarkan kepada
keikhlasan dan kesabaran.
Implikasi landasan religius dalam
pendidik di sekolah tercermin melalui tugas utama guru yaitu mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi peserta didik. Kegiatan
mendidik bagi guru merupakan
bagian dari ibadah, karena mendidik merupakan
kegiatan pengabdian yang secara tidak langsung tertuju kepada Tuhan YME. Tuhan menciptakan manusia tidak lain
untuk beribadah. Hal ini yang menjadi
dasar setiap pendidik dalam kehidupan sehari-hari, demikian juga dalam
mendidik anak di sekolah. Anak adalah amanah yang harus dijaga dan dididik
dengan nilai-nilai agama.
Pendidik juga memiliki
peran penting dalam membantu
membentuk kepribadian anak pada masa yang akan
datang. Contoh penerapan landasan religius di sekolah adalah (1) pemberian
mata pelajaran wajib untuk pendidikan agama, (2) guru memberikan
pengetahuan agama kepada peserta didiknya sesuai dengan agama/ kepercayaan yang dianutnya, (3) guru mengajarkan hal-hal
baik seperti berdoa sebelum dan sesudah pembelajaran, (4) mengarahkan peserta
didik untuk taat kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti
melaksanakan ibadah bersama
atau berjamaah di sekolah, (5) Melaksanakan
nilai-nilai religius di sekolah dalam pendidikan karakter dan kegiatan keagamaan
seperti kegiatan ekstrakulikuler. Untuk mempelajari
lebih lanjut tentang landasan ilmu pendidikan dalam praktik pendidikan anda dapat mengakses
melalui link berikut:
http://bit.ly/34Fd9nL
5.
Forum Diskusi
Saudara
mahasiswa untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai
materi yang telah disampaikan
di atas, Coba Anda diskusikan kajian
berikut dengan teman-teman kelompok
di kelas Anda!
Pak Sigit adalah seorang guru di SMA Negeri di Bandung.
Peserta didik yang dihadapi
oleh beliau memiliki
perbedaan latar belakang
ekonomi,
kultur dan perbedaan
pola asuh dari orangtua yang sangat beragam.
Bagaimanakah pak Sigit harus mengakomodasi beragam
perbedaan tersebut agar praktik pendidikan yang dilaksanakan mampu mengembangkan potensi
dan mengarahkan peserta didik menajdi
lebih baik!
1.
Rangkuman
Landasan pendidikan merupakan
seperangkat asumsi yang dijadikan titik tolak
dalam praktik pendidikan. Melalui studi pendidikan diperoleh pemahaman tentang landasan pendidikan yang akan
dijadikan sebagai titik tolak dalam praktik pendidikan yang akan dilaksanakan. Hal tersebut dimulai
dengan memahami hakekat manusia, di mana manusia sebagai
pelaku utama yang memiliki peran sebagai
subjek di dalamnya. Hakekat manusia dapat dilihat dalam beberapa aspek yaitu berdasarkan asal-usulnya manusia sebagai makhluk
Tuhan, struktur metafisiknya manusia sebagai kesatuan
jasmani dan rohani, serta karakteristik dan
makna eksistensinya di dunia yang bisa dilihat
sebagai makhluk individu,
makhluk sosial, makhluk
berbudaya, makhluk susila,
dan makhluk beragama.
Manusia memiliki tanggung
jawab untuk membina
masyarakat, memelihara alam lingkungan, membina
kerukunan hidup bersama,
dan memelihara martabat
kemanusiaannya (human dignity),
sehingga sepatutnya manusia perlu memiliki kompetensi
pedagogik terlebih lagi bagi seorang pendidik. Melalui kompetensi ini pendidik dituntut untuk memiliki
kemampuan dan trampil
dalam melihat karakteristik peserta didik dari berbagai aspek
kehidupan, baik itu moral, emosional maupun intelektualnya.
Landasan pendidikan sebagai pijakan
dalam praktik pendidikan diantaranya yaitu
landasan filosofis dan epistemologi, landasan yuridis, landasan empiris, dan landasan
religius. Landasan filosofis
pendidikan adalah pandangan-pandangan yang bersumber dari filsafat pendidikan mengenai hakikat
manusia, hakikat ilmu, nilai serta
perilaku yang dinilai baik dan dijalankan setiap lembaga pendidikan. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan epistimologi pendidikan adalah pandangan-pandangan yang bersumber dari cabang filsafat
epistimologi yang disebut juga teori mengetahui dan pengetahuan.
Landasan empiris terdiri dari landasan
psikologis, historis, dan sosiologis. Landasan
psikologi dalam pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari studi ilmiah tentang kehidupan manusia
pada umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan
dengan aspek pribadi manusia pada setiap tahapan usia perkembangan tertentu
untuk mengenali dan menyikapi manusia
yang bertujuan untuk memudahkan proses pendidikan. Landasan
historis pendidikan nasional
di Indonesa tidak terlepas
dari sejarah bangsa indonesia yang memiliki enam fase. Landasan sosiologis bersumber pada norma kehidupan masyarakat yang dianut
oleh suatu bangsa sehingga
tercipta nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat
dan harus dipatuhi oleh masing-masing
anggota masyarakat. Sedangkan landasan religius adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari religi atau agama yang
menjadi titik tolak dalam rangka praktik pendidikan dan atau studi pendidikan.
2.
Tes Formatif
Untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi yang telah disajikan
dalam Kegiatan Belajar 1 di atas, kerjakan tes formatif berikut dengan sungguh-sungguh. Pilihlah salah satu
jawaban yang paling tepat dari pertanyaan berikut:
1. Seorang
guru mengajar di dalam kelas dengan metode ceramah sehingga proses pembelajaran lebih terpusat pada guru sedangkan
siswa pasif karena
hanya mendengarkan. Hal tersebut termasuk
dalam proses pendidikan yang beraliran….
A. Behavioristik
B. Perenialisme
C. Humanisme
D. Esesnialisme
E.
Rekonstuksionisme
2. Tujuan
pendidikan Bangsa Indonesia yaitu pembentukan manusia yang ideal. Berikut ini implementasi sila ke 5
dalam pendidikan sebagai upaya pencapaian tujuan tersebut adalah....
A. Guru mengarahkan peserta didik untuk taat terhadap
Tuhan YME
B.
Orang tua memberi contoh
pada anak untuk tidak melakukan
diskriminasi pada siapapun
C.
Peserta didik diajarkan untuk
mencintai dan mengkonsumsi produk dalam negeri
D.
Pendidik mengikuti PPG untuk meningkatkan kreativitas dan profesionalitasnya
E.
Sekolah melakukan program kegiatan
bakti sosial dengan
melibatkan peserta didiknya
3. Berikut
ini contoh kegiatan yang tergolong ke
dalam praktik pendidikan adalah…
A. Ibu Ani sedang membaca buku psikologi pendidikan
B.
Ibu Heni dan pak didi sedang
berdiskusi tentang pengertian pendidikan
C. Pak Andi sedang mengajarkan konsep “bangun ruang” kepada peserta
didiknya
D.
Pak Budi sedang mencari ide untuk memotivasi peserta didiknya agar giat belajar
E.
Pak Hajar sedang mendownload
file materi Pendidikan Pancasila
4. Sebagai humanisasi pendidikan bukan berarti
pembentukan manusia (peserta didik) oleh manusia lainnya
(pendidik). Sebab asumsinya bahwa manusia atau peserta didik adalah…
A. Manusia merupakan makhluk otonom
B. Pribadi yang berkembang dan berakal
C.
Makhluk sosial
yang dapat mempengaruhi satu sama lain
D. Makhluk yang memiliki moral
sehingga dapat membedakan baik dan buruk
E.
Makhluk religius yang diciptakan oleh Tuhan
5. Seorang pendidik perlu memahami
landasan pendidikan. Salah satu manfaat
mempelajari landasan
pendidikan bagi pendidik adalah
A.
Memahami berbagai karakteristik peserta
didik sehingga memandang peserta didik
sebagai pribadi yang unik
B.
Menumbuhkan sikap berpikir kritis
pendidik terhadap perkembangan peserta didik
C.
Membantu pendidik dalam menentukan
metode pembalajaran yang tepat digunakan dalam situasi tertentu di kelas
D.
Meningkatkan perkembangan pola pikir dan pola kerja pendidik
tentang bagaimana seharusnya melaksanakan praktek pendidikan
E.
Memahami berbagai pasal-pasal dalam UUD dan peraturan yang berlaku di Indoensia
terkait dengan pendidikan
6. Beriku ini implikasi landasan
historis dalam proses
pendidikan di Indonesia adalah...
A.
Guru melaksanakan perannya sesuai
dengan semboyan “tut wuri handayani”
B.
Kurikulum pendidikan dikembangkan dengan memperhatikan psiklogi
perkembangan peserta didik
C.
Pembentukan komite sekolah sebagai
bentuk kerjasama antar sekolah dengan
masyarakat
D.
Guru mengajarkan mata pelajaran bermuatan lokal sesuai dengan
daerah tempat mengajarnya
E.
Terdapat program Bantuan
Operasional Sekolah untuk sekolah-sekolah negeri
7. Pengertian landasan
dibagi dua yaitu landasan fisik
dan konseptual. Berikut
ini yang termasuk dalam landasan konseptual adalah....
A.
Kurikulum dan silabus
B. Pancasila dan UUD 1945
C. Kerangka berfikir
D. Desain bangunan
E. Tujuan pendidikan
8. Pendidikan harus dilakukan sesuai dengan tahap-tahap dan tugas pekermbangan peserta didik. Oleh
kareananya pendidikan dilaksanakan dengan
mengacu pada landasan....
A. Psikologi pendidikan
B. Sosiologi pendidikan
C. Religi pendidikan
D. Ekonomi pendidikan
E. Ilmu pengetahuan dan Teknologi
9. Sila
pertama pancalisa adalah keTuhanan YME oleh sebab itu pendidikan hendaknya
bertujuan agar peserta
didik beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan YME. Hal tersebut
merupakan contoh
A.
Landasan yuridis
B. Landasan psikologis
C. Landasan religius
D. Landasan sosilogis
E. Landasan historis
10. Salah
satu tripusat pendidikan bagi anak adalah keluarga. Orang tua yang dalam kesehariannya rajin melaksanakan
ibadah sesuai dengan waktu yang ditentukan. Pada hakekatnya menanamkan pada anak...
A. Hak dan kewajiban
B. Kejujuran dan toleransi
C.
Gotong royong dan tangung jawab
D.
Kedisiplinan dan tanggung
jawab
E.
Kejujuran dan Tenggang
rasa
Cocokkanlah jawaban Saudara dengan
Kunci Jawaban Tes Formatif KB 1 yang terdapat
pada bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban
yang benar. Selanjutnya, gunakan rumus berikut
untuk mengetahui tingkat
penguasaan Saudara terhadap
materi Kegiatan Belajar 2.
Arti tingkat
penguasaan : 90 – 100% = baik sekali
80 – 89%
= baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang
Apabila Anda mencapai
tingkat penguasaan 80% atau lebih,
Bagus ! Saudara dapat meneruskan bagian selanjutnya. Jika masih di bawah 80%, tetap semangat, Saudara harus
mengulangi materi dalam Kegiatan Belajar 1, terutama pada bagian yang belum dikuasai.