Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keteladanan Rasulullah SAW Sebagai Karakteristik Insan Kamil

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang

    Manusia adalah sebuah ciptaan yang paling sempurna dibanding ciptaan yang lain, manusia yang dibekali dengan akal dan hati sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil. Sungguh sangat unik ketika kita mengkaji manusia karena penuh misteri khususnya dalam hal pencapaian diri atau pencapaian sebagai Insan Kamil, meskipun hal itu sulit untuk diraih tapi kita pun tidak semudah untuk menyerah, dengan dibekali kelebihan yang ada pada diri manusia maka tidak menutup kemungkinan untuk bisa mencapainya.

     Perlu kita ketahui bahwa insan kamil  adalah suatu keadaan yang sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya. Khalayak biasanya mengartikan "insan kamil" sebagai manusia sempurna, Sebagai aktualisasi dan contoh yang pernah ada hidup di permukaan bumi ini adalah sosok Rasulullah Muhammad Saw. Tapi sayang sosok Nabi yang agung ini hanya dilihat dan diikuti dari segi fisik dan ketubuhan beliau saja. Artinya Beliau hanya dilihat secara partial saja, padahal kita mau membicarakan kesempurnaan beliau. Lalu berduyun duyunlah "pakar" Islam dari masa ke masa menulis, menganjurkan, bahkan menjadi perintah yang hampir mendekati taraf "wajib", kepada umat Islam untuk mengikuti contoh "perilaku" Nabi Muhammad.

 

B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan Latar Belakang diatas,maka dapat dibuat rumusan masalah seba

    gai berikut:

    1. Apakah pengertian kamil ?

    2. Bagaimana karakteristik insan kamil ?

    3. Bagaimana keteladanan Rasulullah SAW sebagai karakteristik dari insan

         kamil ?

    4. Bagaimana meneladani Rasulullah SAW sebagai karakteristik insan kamil ?

 

C. Tujuan Pembahasan

    1. Untuk mengetahui pengertian insan kamil

    2. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik insan kamil

    3. Untuk memahami keteladanan Rasulullah SAW sebagai karakteristik

        Insan Kamil

    4. Untuk memahami bagaimana meneladani Rasulullah SAW

        sebagai karakteristik insan kamil. 

 

BAB II

PEMBAHASAN

    

    A. Pengertian Insan Kamil

  Insan Kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata:  Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, Insan Kamil berarti  manusia yang sempurna. Menurut Jamil Shaliba sebagaimana dikutif Abuddin Nata bahwa katainsan  menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa  Arab kata insan mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia. Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan  pada arti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani dan fisik  yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan lainnya.

Adapun kata kamil dapat pula berarti suatu keadaan yang  sempurna, dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya  zat dan sifat, dan hal itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah  potensi dan kelengkapan seperti ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya.

           Insan Kamil secara umum, adalah manusia ta’am yang mulai melangkah secara vertikal, sehingga menjadi kamil, lebih kamil lagi dan seterusnya hingga pada batas akhir kesempurnaan ketika tak seorang pun dapat menjangkau kedudukannya. Manusia yang telah mencapai tingkat itu adalah manusia yang paling sempurna.

1. Pengertian Insan Kamil Menurut Para Tokoh Tasawuf

     a. Insan Kamil Menurut Muhyiddin Ibnu Arabi

           Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut ma’rifat.

         Kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan ber-tajalli secara sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah al-Muhammadiyah). Hakikat Muhammad merupakan wadah tajalli Tuhan yang sempurna. Jadi, dari satu sisi, insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap

realitas individual dari alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika.

 

    b. Insan Kamil Menurut ‘Abd Al-Karim Al-Jilli

         Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.

      Nur Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah Subhanahu Wa Taala ke dalam diri Nabi Adam Alaihi Salam. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awail (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan kamil dengan dua pengertian.

1.      Insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka makin sempurnalah dirinya.

2.      Insan kamil terkait dengan keyakinan bahwa yang memiliki sifat mutlak dan sempurna itu mencakup Asma’ sifat dan hakikatNya.

          Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan rohani dan pendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang luar biasa.

Al-Jili membagi insan kamil atas tiga tingkatan.

1)      Tingkat permulaan (al-bidāyah). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya.

2)      Tingkat menengah (at-tawasut). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqāiq ar-rahmāniyah). Sementara itu, pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini juga telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal-hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya.

3)      Tingkat terakhir (al-khitām). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh.Dengan demikian pada insan kamil sering terjadi hal-hal yang luar biasa.

     c. Insan Kamil Menurut Muhammad Iqbal

             Muhammad Iqbal tidak setuju dengan teori para sufi seperti pemikiran al-Jili ini. Menurut dia, hal ini membunuh individualitas dan melemahkan jiwa. Iqbal memang memandang dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai insan kamil, tetapi tanpa penafsiran secara mistik.

        Insan kamil versi Iqbal tidak lain adalah sang mukmin, yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi tergambar dalam akhlak Nabi SAW. Insan kamil bagi Iqbal adalah sang mukmin yang merupakan makhluk moralis, yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi. Untuk menumbuhkan kekuatan dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati akhlak Ilahi.

Sang mukmin menjadi tuan terhadap nasibnya sendiri dan secara tahap demi tahap mencapai kesempurnaan. Iqbal melihat, insan kamil dicapai melalui beberapa proses. Pertama, ketaatan pada hukum; kedua penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang pribadi; dan ketiga kekhalifahan Ilahi.

2. Konsep Insan Kamil menurut Al-Qur’an dan Hadits

 Konsep insan kamil menurut Al-Qur'an dan hadits adalah menjelaskan mengenai Nabi Muhammad SAW sebagai wujud karakteristik insan kamil

   Nabi Muhammad SAW disebut sebagai teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانيَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرً    

 Artinya : "Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah. "(Q.S. Al-Ahzab:21)

Allah Subhanahu Wa Taala tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya, berstandar seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang menjadi uswah hasanah. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam merupakan insan kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia. Sebagaimana firman Allah Subhana Wa Taala:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيم

Artinya : “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS. Al-Qolam:4)

Nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad adalah sebagai seorang Rasulullah Rahmatan Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menjadi penutup semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat sesuai dengan firman Allah Subhanahu Wa Taala :

يا أهل الكتاب قد جاءكم رسولنا يبين لكم كثيرا مما كنتم تخفون من الكتاب ويعفو عن كثير قد جاءكم من الله نور وكتاب مبين

يهدي به الله من اتبع رضوانه سبل السلام ويخرجهم من الظلمات إلى النور بإذنه ويهديهم إلى صراط مستقيم

Artinya : “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan.Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al Maidah 15-16)

Firman Allah tersebut menjelaskan tentang nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad sebagai seorang Rasulullah Rahmatan Lil’alamin. Muhammad adalah nabi akhir zaman dan karena itu menjadi penutup semua nabi terdahulu yang diutus untuk menjadi saksi kehidupan manusia dan pembawa berita tentang kehidupan mendatang di akhirat.

Rasulullah Shallallahu Alahi Wasallam bersabda sehubungan dengan akhlaq,

hati dan lisan:  

      “Iman seorang hamba tidaklah lurus sehingga lurus hatinya. Dan tidak akan 

       lurus hati seorang hamba sehingga lurus lisannya.” (H.R. Ahmad).

Sehubungan dengan hubungan sosial, beliau bersabda:

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tamunya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dan masih banyak lagi ibrah lainnya dari kehidupan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan akhlaq beliau, baik akhlaq terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap makhluk lainnya dan tentunya akhlaq terhadap Khaliqnya sebagai insan kamil.

 

B. Karakteristik Insan Kamil

     Karakteristik insan kamil antara lain :

1)      Keimanan

Keimanan sering disalahpahami dengan 'percaya', keimanan dalam Islam diawali dengan usaha-usaha memahami kejadian dan kondisi alam sehingga timbul dari sana pengetahuan akan adanya Yang Mengatur alam semesta ini, dari pengetahuan tersebut kemudian akal akan berusaha memahami esensi dari pengetahuan yang didapatkan. Keimanan dalam ajaran Islam tidak sama dengan dogma atau persangkaan tetapi harus melalui ilmu dan pemahaman. Implementasi dari sebuah keimanan seseorang adalah ia mampu berakhlak terpuji. Allah sangat menyukai hambanya yang mempunyai akhlak terpuji. Akhlak terpuji dalam islam disebut sebagai akhlak mahmudah.Beberapa contoh akhlak terpuji antara lain adalah bersikap jujur, bertanggung jawab, amanah, baik hati, tawadhu, istiqomah dll. Sebagai umat islam kita mempunyai suri tauladan yang perlu untuk dicontoh atau diikuti yaitu nabi Muhammad SAW. Ia adalah sebaik-baik manusia yang berakhlak sempurna. Ketika Aisyah ditanya bagaimana akhlak rosul, maka ia menjawab bahwa akhlak rosul adalah Al-quran. Artinya rosul merupakan manusia yang menggambarkan akhlak seperti yang tertera di dalam Al-quran.

        Adapun sikap 'percaya' didapatkan setelah memahami apa yang disampaikan oleh mu'min mubaligh serta visi konsep kehidupan yang dibawakan. Percaya dalam Qur'an selalu dalam konteks sesuatu yang ghaib, atau yang belum terrealisasi, ini artinya sifat orang yang beriman dalam tingkat paling rendah adalah mempercayai perjuangan para pembawa risalah dalam merealisasikan kondisi ideal bagi umat manusia yang dalam Qur'an disebut dengan 'surga', serta meninggalkan kondisi buruk yang diamsalkan dengan 'neraka'. Dalam tingkat selanjutnya orang yang beriman ikut serta dalam misi penegakkan Din Islam.Adapun sebutan orang yang beriman adalah Mu'min

Tahap dan Tingkatan Iman serta Keyakinan
Tahap-tahap keimanan dalam Islam adalah:

·        Dibenarkan di dalam qalbu (keyakinan mendalam akan Kebenaran yang disampaikan)

·        Diikrarkan dengan lisan (menyebarkan Kebenaran)

·        Diamalkan (merealisasikan iman dengan mengikuti contoh Rasul)

             Tingkatan Keyakinan akan Kebenaran (Yaqin) adalah:

·        Ilmul Yaqin (yaqin setelah menyelidikinya berdasarkan ilmu) contoh  seperti keyakinan orang amerika yang masuk islam setelah membuktikan AL QUR'AN dengan ILMU PENGETAHUAN

·        'Ainul Yaqin (yaqin setelah melihat kebenarannya hasilnya baik berupa mu'zizat ,   karomah dll ) contoh : keyakinan Bani israil yaqin setelah melihat mu'zizat dari nabinya

·        Haqqul Yaqin (yaqin yang sebenar-benarnya meskipun belum dibuktikan dengan ilmu dan belum melihat kebenarannya) contoh yakinnya para sahabat RA kepada nabi MUHAMMAD.SAW pada peristiwa ISRA' MIRAJ meskipun tidak masuk akal(berdasarkan ilmu) dan tidak seorang sahabat pun melihat kejadian itu , namun mereka tetap meyakini peristiwa itu . 

       2.) Ketaqwaan

Taqwa / (takwa ,yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja. Adapun arti lain dari taqwa adalah:

1. Melaksanakan segala perintah Allah

2. Menjauhkan diri dari segala yang dilarang Allah (haram)

3. Ridho (menerima dan ikhlas) dengan hukum-hukum dan ketentuan

    Alloh

        Imam an Nawawi rahimahullah berkata bahwa takwa adalah istilah tentang melaksanakan segala kewajiban dan meninggalkan segala larangan.Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan bahwa takwa artinya melakukan perintah dan meninggalkan larangan.Thuluq ibnu Habib rahimahullah berkata tentang takwa, engkau melaksanakan ketaatan (melaksanakan perintah), di atas cahaya dari Allah (ilmu), dengan berharap pahala dari Allah. Dan engkau meninggalkan maksiat terhadap Allah, di atas cahaya Allah dari Allah, karena takut terhadap hukuman Allah. Imam Ali bin Abi Thalib radliyallahu’anhu berkata, takwa adalah al Khaufu minal Jalil (takut kepada Allah yang Mahaagung), al ‘Amal bil Tanziili (mengamalkan al Quran dan al Sunnah), al Ridla bil Qalil (ridla atas pembagian rizki yang sedikit), dan al istidad liyaum al Rahiil (mempersiapkan diri untuk perjalanan di akhriat).

        Taqwa berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara. "memelihara diri dalam menjalani hidup sesuai tuntunan/petunjuk allah" Adapun dari asal bahasa arab quraish taqwa lebih dekat dengan kata waqa Waqa bermakna melindungi sesuatu, memelihara dan melindunginya dari berbagai hal yang membahayakan dan merugikan. Itulah maka, ketika seekor kuda melakukan langkahnya dengan sangat hati-hati, baik karena tidak adanya tapal kuda, atau karena adanya luka-luka atau adanya rasa sakit atau tanahnya yang sangat kasar, orang-orang Arab biasa mengatakan Waqal Farso Minul Hafa (Taj).

        Dari kata waqa ini taqwa bisa di artikan berusaha memelihara dari ketentuan allah dan melindungi diri dari dosa/larangan allah. bisa juga diartikan berhati hati dalam menjalani hidup sesuai petunjuk allah.

Allah berfirman:

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ

"Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal." (QS. Al-Baqarah: 197)


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS. Ali Imran: 102)

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

"Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS. Al-Thalaq: 2-3)

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

"Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." (QS. Al-Thalaq: 4)


وَقِيلَ لِلَّذِينَ اتَّقَوْاْ مَاذَا أَنزَلَ رَبُّكُمْ قَالُواْ خَيْرًا لِّلَّذِينَ أَحْسَنُواْ فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَلَدَارُ الآخِرَةِ خَيْرٌ وَلَنِعْمَ دَارُ الْمُتَّقِينَ


“Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: “Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?” Mereka menjawab: “(Allah telah menurunkan) kebaikan”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa  (QSAn-Nahl16:30)
HaditsRasulullah:
عَنْ أَبِي ذَرّ جُنْدُبْ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ بْن جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ، "اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ"  - رواه الترمذي وقال حديث حسن وفي بعض النسخ حسن صحيح


Rasulullah SAW bersabda: "Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kamu berada dan susullah kejahatan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya. Dan pergaulihah manusia dengan akhak terpuji.’ (HR. Turmudzi dan ia berkata, ‘Ini adalah hadits hasan’ dan di sebagian kitab disebutkan sebagai hadits hasan shahih).

Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa ada yang bertanya kepada Rasulullah,

 يا رَسُول اللَّهِ مَنْ أَكْرَمُ النَّاسِ؟ قَالَ: أَتْقَاهُمْ قَالُوْا: لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ. قَالَ: فَيُوْسُفُ نَبِيُّ اللَّهِ بْنِ نَبِيِّ اللَّهِ بْنِ نَبِيِّ اللَّهِ بْنِ خَلِيْلِ اللَّهِ قَالُوا: لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ. قَالَ: فَعَنْ مَعَادِنِ الْعَرَبِ تَسْأَلُوْنِي؟ خِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الإسْلاَمِ إِذَا فَقِهُوْا

“Ya Rasulullah, siapakah orang paling mulia?” Beliau menjawab, “Orang yang paling bertaqwa di antara mereka.” Orang itu berkata lagi, ‘Bukan tentang ini kami bertanya.’ Beliau menjawab, ‘Yusuf bin Nabi Allah bin Nabi Allah bin Khalilullah.Mereka bertanya,Bukan tentang ini kami bertanya. Beliau menjawab, Apakah kalian bertanya tentang kantong-kantong daerah Arab? Sebaik-baik kalian di Jahiliyah adalah yang terbaik di dalam Islam jika mereka berilmu. (Muttafaq Alaihi).
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ - رواه الترمذي

Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang hal apakah yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga? Beliau menjawab, ‘Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.’ Lalu beliau ditanya tentang hal apakah yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka? Beliau menjawab, ‘Lisan dan kemaluan.’ (HR. Turmudzi)

عَنْ أَبِى طَرِيْفٍ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ الطَّا ئِىِّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رسول الله صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ ثُمَّ رَأَى أَتْقَى لِلَّه  مِنْهَا فَلْيَأْتِ التِّقْوَى . رَوَاهُ مُسْلِمْ.

Dari Abu Tharif Adiy bin Hatim - رَضِىَ الله عَنْهُ -, katanya: Aku mendengar Rasulullah - صلّى الله عليه وسلّم - bersabda: “Barangsiapa bersumpah dengan sungguh-sungguh (untuk melakukan atau meninggalkan suatu perkara), kemudian dia melihat hal yang lebih taqwa bagi Allah, maka hendaknya dia mendatangi (hal yang) taqwa itu.” (HR Muslim)

اِتَّقُوْا اللَّهَ وَصَلُّوْا خَمْسَكُمْ، وَصُوْمُوْا شَهْرَكُمْ، وَأَدَّوْا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ، وَأَطِيْعُوا أُمَرَاءَكُمْ، تَدْخُلُوْا جَنَّةَ رَبِّكُمْ

”Bertaqwalah kalian kepada Allah, shalatlah yang lima waktu, puasalah di bulan kalian, tunaikan zakat harta kalian, dan taatilah pemimpin kalian, niscaya kalian akan memasuki surga Tuhan kalian.” (Tirmidzi di Kitab Shalat, hadits hasan shahih).

Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah berdoa,

اَلَّلهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketaqwaan, keterjagaan / iffah , dan kekayaan. (Muslim).

       3.) Keadaban

          Menurut bahasa Keadaban memiliki arti kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti, akhlak. M. Sastra Praja menjelaskan bahwa, adab yaitu tata cara hidup,penghalusan atau kemuliaan kebudayaan manusia. Sedangkan menurut istilah Adab adalah suatu ibarat tentang pengetahuan yang dapat menjaga diri dari segala sifat yang salah.

Dari penjelasan diatas dapat diambil pengertian bahwa adab ialah mencerminkan baik buruknya seseorang, mulia atau hinanya seseorang, terhormat atau tercelanya nilai seseorang. Maka jelaslah bahwa seseorang itu bisa mulia dan terhormat di sisi Allah dan manusia apabila ia memiliki adab dan budi pekerti yang baik.

Seseorang akan menjadi orang yang beradab dengan baik apabila ia mampu menempatkan dirinya pada sifat kehambaan yang hakiki. Tidak merasa sombong dan tinggi hati dan selalu ingat bahwa apa yang ada di dalam dirinya adalah pemberian dari Allah swt. Sifat-sifat tersebut telah dimiliki Rasulullah saw. Secara utuh dan sempurna. Oleh sebab itu Allah swt. memuji beliau dengan firmannya yang artinya:

" Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung

Menurut Imam al-Ghazali akhlak mulia adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh para utusan Allah swt. yaitu para Nabi dan Rasul dan merupakan amal para shadiqin. Akhlak yang baik itu merupakan sebagian dari agama dan hasil dari sikap sungguh-sungguh dari latihan yang dilakukan oleh para ahli ibadah dan para mutaqin.

Imam Al-Ghazali sangat menaruh perhatian kepada pendidikan akhlak. Hal ini dapat dilihat dari perkataan beliau:  Ketahuilah, bahwa tasawuf itu adalah dua hal, yaitu ketulusan kepada Allah swt. dan pergaulan yang baik dengan sesama manusia.

Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan akhlak hendaknya didasarkan atas mujahadah (ketekunan) dan latihan jiwa. Mujahadah dan riyadhah-nafsiyah (ketekunan dan latihan kejiwaan) menurut al-Ghazali ialah membebani jiwa dengan amal-amal perbuatan yang ditujukan kepada khuluk yang baik, sebagaimana kata beliau: œBarangsiapa yang ingin dirinya mempunyai akhlak pemurah, maka ia harus melatih diri untuk melakukan perbuatan-perbuatan pemurah, yakni dermawan, dan gemar bersedekah. Jika beramal bersedekah dilakukan secara istiqamah, maka akan jadi kebiasaan. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt.:

"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik."

Konsepsi pendidikan modern saat ini sejalan dengan pandangan al-Ghazali tentang pentingnya pembiasaan melakukan suatu perbuatan sebagai suatu metode pembentukan akhlak yang utama. Pandangan al-Ghazali tersebut sesuai dengan pandangan ahli pendidikan Amerika Serikat, John Dewey, yang dikutip oleh Ali Al Jumbulati menyatakan: Pendidikan moral terbentuk dari proses pendidikan dalam kehidupan dan kegiatan yang dilakukan oleh murid secara terus-menerusâ

Oleh karena itu pendidikan akhlak menurut John Dewey adalah pendidikan dengan berbuat dan berkegiatan (learning to do), yang terdiri dari sikap tolong-menolong, berbuat kebajikan dan melayani orang lain, dapat dipercaya dan jujur. Ahli pendidikan Amerika ini berpendirian bahwa akhlak tidak dapat diajarkan melalui cara lain kecuali dengan pembiasaan melakukan perbuatan yang berproses.

Kesimpulannya, bahwa akhlak baik tidak akan dapat terbentuk kecuali dengan membiasakan seseorang berbuat suatu pekerjaan yang sesuai dengan sifat akhlak itu. Jika seseorang mengulang-ulangi berbuat sesuatu tertentu maka berkesanlah pengaruhnya terhadap perilakunya dan menjadi kebiasaan moral dan wataknya.

      4.) Keilmuan

            Kata ilmu dalam bahasa Arab "ilm" yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan sebagainya.

Syarat-syarat  Keilmuan

Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.

a)      Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.

b)      Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.

c)      Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.

d)      Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.

           5.)  Kemahiran

Kemahiran adalah kecakapan menggunakan akal untuk menjalankan proses pemikiran yang teratur dan membuat kesimpulan atau keputusan yang tepat utuk tindakan yang terarah.

    6.)   Ketertiban

Ketertiban berasal dari kata tertib yang berarti teratur. Ketertiban diartikan sebagai suatu kesejahteraan dan keamanan  menjalankan aturan sesuai ajaran islam

          7.)  Kegigihan dalam kebaikan dan kebenaran

Kegigihan adalah salah satu unsur kehidupan yang sangat penting bagi kita. Sebagian besar orang-orang yang sukses memiliki mental seperti itu.

          8.)  Persaudaraan

  Secara bahasa Persaudaraan berasal dari dari kata saudara, yang kalau kita buka kamus berarti orang yang seibu sebapa; orang yang bertalian keluarga, sanak; orang yang bersegolongan. Dalam bahasa arab disebut dengan ukhuwwah yang berasal dari kata akh.
Adapun secara istilah, persaudaraan saya artikan sebagai hubungan yang terjalin antara seseorang dengan orang lain atau masyarakat yang mencakup masalah sikap, tindakan, dan sebagainya terhadap orang yang berhadapan dengan dirinya . Baik hubungan itu terjalin dengan harmonis atau sebaliknya. Tanpa definisi-pun kita tahu benar akan arti apa itu persaudaraan, karena Persaudaraan itu telah kita rasakan dalam hidup ini, rasa suka, cinta, sayang, bahkan marah, jengkel, dan buruk sangka mungkin pernah melanda kita.

         9.)  Persepakatan dalam hidup

Arti Kehidupan Menurut Islam adalah merupakan cara mengartikan kehidupan dari sisi keyakinan agama Islam. Untuk itulah sangat penting bagi setiap individu untuk mengetahui arti hidup dan kehidupan terutama agar kita dapat menjalankan hidup yang lebih bermakna sehingga kita dapat menggapai kebahagiaan dunia dan akherat. Karena kehidupan manusia di dunia sangat menentukan kehidupan di akherat. Oleh karenanya tidak bisa dengan sembarangan untuk menentukan arti  hidup hanya berdasarkan teori akal belaka.

       10.)  Perpaduan dalam ummah

 Sesungguhnya Islam itu bersaudara dan dikehendaki mengeratkan perpaduan serta diharamkan memutuskannya. Bahkan setiap mukmin mestilah saling tolong-menolong sesame mereka dalam segala hal yang mendorong kebaikan umat, kemaslahatan dan kebahagiaan bersama.Memutuskan silatulrahim termasuk dalam perkara pembalasan dosa besar di sisi Allah S.W.T.

 

Karakteristik  inilah yang menjamin manusia menjadi sempurna dan mencapai hasanah dalam dunia dan hasanah dalam akhirat.

 

C. Keteladanan Rasulullah SAW sebagai Karakteristik Insan Kamil

     Pendidikan yang diberikan Allah SWT. kepada Rasulullah SAW. menjadikan beliau sebagai manusia yang paling layak untuk menjadi “teladan yang baik” bagi umat Islam yang menginginkan kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.

     Dinyatakan dalam QS. Al-Qalam: 4 bahwa beliau adalah manusia agung, luhur, dan berbudi pekerti mulia yang selama hidup tidak pernah menyakiti hati orang lain. Diceritakan bahwa sahabat Anas ibn Malik, pembantunya pernah berkata, “Bahwa selama 10 (sepuluh) tahun aku bekerja pada beliau, tapi tidak pernh sekalipun Beliau berkata “cis/hus” (dalam arti menghardik) kepada saya.” Karena kesempurnaan kepribadian dan perangai beliau yang seperti itulah, maka beliau mendapat predikat sebagai “al-insan al-kamil” (manusia sempurna). Konsekuensi positif dari kesempurnaan beliau maka Allah menjadikan beliau sebagai “uswah” (teladan) yang baik tidak saja bagi umat Islam tapi bagi umat manusia seantero jagad (QS. Al-Ahzab: 21).

      Sesungguhnya keteladan beliau memang sudah diskenario Allah sejak semula dalam rangka menjadi “uswah hasanah”. Sementara kita bisa melihat bukti tentang rencana Allah   tersebut dalam prjalanan hidup beliau sejak lahir yang bisa dibaca dalam kitab-kitab sejarah maupun “sirah nabawiyyah” (perjalanan hidup kenabian).

   Muhammad SAW. Sebagai Model Pendidik dan Spiritualis Ideal

   Muhammad SAW. adalah samudera luas dengan segala sisi kehidupannya yang begitu kompleks dan komplit. Dari semua aspek dan sisi kehidupannya itu, beliau tetap menjadi tokoh besar yang selalu menjadi rujukan dan terutama menjadi teladan yang baik. Muhammad SAW. menjadi begitu besar dan agung seperti itu bukan sekali jadi. Beliau dapat meraih semuanya setelah melalui proses penempaan diri dan mental yang cukup panjang dan lama, bahkan mengharukan.

             Di dalam teologi mistik, Muhammad bahkan dianggap sebagai al-insan al-kamil, manusia yang sempurna. Abdul Karim al-Jili, yang mengemukakan dasar dan pokok dalam pengembangan konsepsi ini, memberikan suatu gambaran dari manusia yang sempurna itu di dalam bukunya al-insa>n al-ka>mil, mistik yang telah mencapai tingkat penyatuan dengan Tuhan. Pada kondisi paling puncak dia dapat disebut seorang manusia yang sempurna, seseorang yang pada dirinya, antara Tuhan dan hamba menjadi satu.44Dalam Islam, tidak dapat seorang hamba bertemu langsung ataupun menyatu dengan Tuhannya. Akan tetapi hanya dapat ber-taqarrub atau mendekatkan diri kepada Tuhannya sehingga hamba tersebut merasa Tuhan selalu ada di dekatnya. Jadi, terdapat kejanggalan dalam kalimat yang telah menyebutkan bahwa Tuhan dan hamba menjadi satu.

a. Kecerdasan Nabi Muhammad SAW.

        Kecerdasan Muhammad SAW. serta kepribadian dan budi pekertinya yang luhur memang sudah tampak sejak beliau masih anak-anak. Ketika berumur 12 tahun Abu Thalib memperkenankan beliau untuk ikut serta dalam perjalanan ke Syiria dengan membawa dagangan. Keikutsertaan Muhammad dalam berbagai aktivitas kemasyarakatan yang disertai dengan kepribadian beliau yang luhur, menyebabkan beliau dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang baik, teguh memegang amanah, jujur dan murah hati.

         Kecerdasan dan kebijakan Muhammad juga ditunjukkan pada peristiwa

renovasi Ka’bah ketika sudah sampai pada peletakan hajar aswad yang sangat dihormati sejak dahulu. Kebijaksanaan yang sangat menakjubkan ketika itu adalah permintaan Nabi agar masing-masing kepala suku ikut serta memegang ujung kain, tempat hajar aswad diletakkan. Barulah beliau sendiri yang mengambil batu itu untuk diletakkan di tempat semula. Berkat kecerdasan dan kebijaksanaan Nabi, semua pihak merassa sangat puas atas apa yang telah dilakukan beliau tanpa adanya pertumpahan darah.

        Kecerdasan Muhammad juga tampak dari struktur bahasa beliau yang

indah, padat, fasih dan argumentatif. Hal ini terlihat misalnya ketika berhadapan dengan para penyembah berhala, orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang yang masih belum beriman, termasuk ketika ada seorang pemuda yang meminta izin kepada beliau untuk berzina. Selain itu, kecerdasan beliau tampak oleh kecermatan beliau ketika memilih para delegasi yang cerdas, mampu menunjukkan argumentasi yang logis dan akurat.

         Dalam kitab Syama’il an-Nubuwwah dijelaskan keteladanan Nabi Muhammad SAW. Kebaikan rohani, kemuliaan jiwa dan kesucian hati,

kesederhanaan tingkah laku, kebersihan dan kehalusan rasa serta ketaatan yang sungguh dalam memenuhi kewajibannya membuatnya digelari al-Amin. Sifatnya lemah lembut tetapi kesatria, ramah tetapi serius, dan otaknya cerdas. Ia pandai membaca rahasia alam meskipun buta aksara. Alam pikirannya luas. Ia mempunyai bakat untuk mempengaruhi, baik orang yang pandai maupun yang tidak berpengetahuan. Kejeniusannya membuat semua orang yang berhubungan dengannya dipenuhi oleh perasaan hormat dan cinta.Buku dasar keimanan tentang ajaran Islam yang menjadi pegangan sejak akhir Abad Pertengahan menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW.

mempunyai empat macam sifat, yaitu:

·        Siddiq (bisa dipercaya),

·        Amanah (patut menerima kepercayaan),

·        Tabligh (bisa menyampaikan firman Allah SWT.),

·        Fatanah (bijaksana dan cerdas)

b. Muhammad SAW Sebagai Pendidik Ulung

            Keluhuran akhlak, kebesaran jiwa, kearifan dan kebijaksanaan Nabi

     Muhammad SAW telah banyak diketahui dan dirasakan secara langsung oleh penduduk Makkah ketika itu. Hal tersebut telah menarik kekaguman dan simpati mereka. Di samping itu, metode penyampaian risalah yang diembannya begitu baik dan indah. Keprihatinan beliau terhadap ketidakadilan, ketertindasan, keterbelakangan dan terutama kebodohan sangat tinggi. Semua ini mendorong beliau untuk berjuang keras menangkis dan menyelamatkan mereka semua dari jeratan tersebut. Beliau datang untuk membebaskan manusia dari belenggu dan dominasi perdukunan, mengajak untuk menyembah Allah SWT., mengajak kepadakebajikan, menjauhi segala bentuk kejahatan (kriminalitas), menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran.

            Muhammad SAW. memproklamirkan kekuasaan Allah dan membebaskan manusia dari perbudakan yang dikarenakan hubungannya yang tidak sehat dengan dewa mereka. Ia kemudian mengangkat martabat manusia dan mempraktikkan suri teladan melalui ajaran persamaan, persaudaraan dan keadilan. Beliau menanamkan ke-Esaan Tuhan, dan dengan demikian mengajarkan kesatuan dan persamaan antar manusia. Muhammad SAW. juga yang telah menggerakkan pendidikan dan menganjurkan “mencari ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”.Ditanamkannya kecintaan ilmu pengetahuan kepada orang-orang Arab yang buta huruf, serta dibukanya jalan bagi prestasi intelektual sehingga menjadikan mereka pelopor dalam dunia ilmu dan seni pada masa keemasan Islam yang gemilang.

           Semua sifat kepribadian kuat nan indah, seperti diakui psikologi: berani, bersemangat, jujur, tanggung jawab, cenderung memimpin, cerdas, pemurah, aktif bicara, gigih, rendah hati dan terpercaya, pastinya ada dalam kepribadiannya. Kata Abul A’la al-Maududi, “Muhammad is only one example where all excellenses have been blanded into one personality” (Muhammad adalah satu-satunya contoh teladan di mana semua kehebatan sifat terpadu dalam kepribadiannya), begitupun sifat-sifat yang diturunkan al-Qur’an merupakan kekayaan jiwanya, karena al-Qur’an merupakan rujukan beliau dalam kehidupan.

     c.) Nabi Muhammad SAW adalah Spiritualis Ideal

  Secara fisiologis, Muhammad SAW. dikenal banyak orang sebagai orang yang memiliki bentuk fisik yang sangat indah dan menawan, mulai dari rambutnya yang hitam, matanya yang bundar, giginya yang putih dan berbaris rapi sampai senyumnya yang terus mengalir di wajahnya yang bersih dan cemerlang. Muhammad SAW menjadi pola dasar dari seluruh keindahan lahiriah manusia, sebab sifat-sifat spiritualnya yang paling mulia, mewujud dalam dirinya secara fisik.

         Akan tetapi, yang penting untuk dicatat adalah bahwa ketampanan lahiriah yang dimiliki oleh Muhammad SAW. tidak lain adalah cermin keindahan dan kemuliaan batinnya, sebab Allah telah menciptakannya sempurna dalam akhlak dan moral. Dan akhlaknya adalah al-Qur’an.Al-Qur’an dengan nilai-nilai kebenaran, kemanusiaan, keadilan, cinta kasih, integritas dan nilai-nilai universal lainnya telah menjadi pola dasar dan nafas kehidupan Muhammad SAW. Spiritualitas Muhammad SAW. dengan begitu adalah spiritualitas yang hidup dengan konkrit, sehingga menjelma dalam keseluruhan gerak perjalanan hidupnya. Bukan sekedar spiritualitas yang semata-mata terperangkap dalam ritus-ritus formal keagamaan dan spiritualitas yang cenderung melahirkan kecenderungan pelarian dari tanggung jawab kemanusiaan universal, demi mengejar keselamatan individual.

        Hubungan Muhammad SAW. dengan Tuhannya yang begitu mesra sebagai bagian dari bentuk spiritualitas beliau tidak sampai melalaikan beliau untuk tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Muhammad SAW. selalu mampu menempatkan dirinya sebagai kekasih Tuhan sekaligus sebagai kekasih masyarakatnya

       Jika semata-mata hendak mengikuti kesenangan pribadinya sendiri,

Muhammad SAW. tidak akan kembali lagi ke bumi, setelah mengalami

pertemuan langsung dengan Tuhan, pada saat mengalami peristiwa Isra’ Mi’raj. Sebab pengalaman tersebut adalah puncak kenikmatan yang dialami oleh seorang hamba yang mencintai Tuhannya.

Dalam dunia tasawuf, substansi Muhammad SAW. menjadi kata kunci

untuk memahami sekaligus memasuki spiritualitas sejati. Substansi Muhammad SAW terdiri dari seluruh kualitas atau tingkat keunggulan yang oleh kaum sufi disebut dengan istilah maqamat. Oleh karena itu, kecintaan kepada Tuhan tidak bisa menjadi sempurna tanpa adanya cinta kepada Nabi Muhammad SAW Kedua cinta ini menjadi suatu pendakian menuju Tuhan yang tidak bisa dipisahkan. Cinta kepada Tuhan menjadi tidak sempurna tanpa cinta kepada Muhammad, dan cinta kepada Muhammad juga tidak sempurna tanpa cinta kepada Tuhan.

 

D. Meneladani Rasulullah SAW sebagai Karakteristik Insan Kamil

              Nabi Muhammad Saw. adalah nabi terakhir yang mendapatkan banyak gelar baik dari Allah maupun dari manusia. Berbagai julukan diberikan kepada beliau atas kesuksesan beliau dalam melakukan misi risalahnya di muka bumi. Beliau berhasil menjadi pemimpin agama (sebagai Nabi) berhasil menjadi pemimpin negara (ketika memimpin negara Madinah). Di samping itu beliau juga berhasil dalam menjalankan berbagai kepemimpinan yang lain, seperti memimpin perang, memimpin musyawarah, dan memimpin keluarga. Karena itu, sudah sepantasnya umat Islam menjadikannya sebagi teladan yang terbaik. Terkait dengan hal ini Allah Swt. berfirman:

”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. al-Ahzab (33): 21).

        Untuk dapat meneladani Nabi Muhammad Saw. dalam kehidupan kita sehari-hari, tentunya kita, umat Islam, harus mengetahui terlebih dahulu apa saja sifat-sifat yang dimiliki oleh beliau dan bagaimana perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, agar kita dapat meneladani Nabi Muhammad Saw. akan dikemukakan sifat-sifat dan perilaku beliau dan kemudian bagaimana kita dapat meneladani sifat dan perilaku tersebut.

         Perlu ditegaskan bahwa semua rasul adalah manusia yang memiliki sifat-sifat kemanusiaan sebagaimana manusia lainnya (QS. al-Kahfi (18): 110 dan QS. Fushshilat (41): 6). Di antara sifat-sifat kemanusiaan yang dimiliki Rasulullah adalah makan dan minum (QS. al-Furqan (25): 20) serta menikah (QS. al-Ra’d (13): 38). Dalam Alquran juga ditegaskan bahwa semua rasul adalah laki-laki, tidak ada yang perempuan (QS. al-Anbiya’ (21): 7). Namun, karena tugas risalah adalah tugas yang amat berat, maka para rasul dibekali dengan sifat-sifat khusus. Sifat-sifat yang pasti dimiliki oleh Nabi Muhammad Saw maupun para nabi dan rasul yang lain adalah:

1. Shiddiq, yang berarti jujur. Nabi dan rasul selalu jujur dalam perkataan dan perilakunya dan mustahil akan berbuat yang sebaliknya, yakni berdusta, munafik, dan yang semisalnya.

2. Amanah, yang berarti dapat dipercaya dalam kata dan perbuatannya. Nabi dan rasul selalu amanah dalam segala tindakannya, seperti menghakimi,memutuskan perkara, menerima dan menyampaikan wahyu, serta mustahil  akan berperilaku yang sebaliknya.

3. Tabligh, yang berarti menyampaikan. Nabi dan rasul selalu menyampaikan apa saja yang diterimanya dari Allah (wahyu) kepada umat manusia dan mustahil nabi dan rasul menyembunyikan wahyu yang diterimanya.

4. Fathanah, yang berarti cerdas atau pandai. Semua nabi dan rasul cerdas dan selalu mampu berfikir jernih sehingga dapat mengatasi semua permasalahan yang dihadapinya. Tidak ada satu pun nabi dan rasul yang bodoh, mengingat tugasnya yang begitu berat dan penuh tantangan.

5. Di samping empat sifat di atas, nabi dan rasul tidak pernah berbuat dosa atau maksiat kepada Allah (ma’shum). Sebagai manusia bisa saja nabi berbuat salah dan lupa, namun lupa dan kesalahannya selalu mendapat teguran dari Allah sehingga akhirnya dapat berjalan sesuai dengan kehendak Allah.

       Di samping memiliki sifat-sifat seperti di atas, Nabi Muhammad Saw. juga dikenal dengan sebutan al-amin, yang berarti selalu dapat dipercaya. Gelar ini diperoleh Muhammad sejak maih usia belia. Dalam kesehariannya Muhammad belum pernah berbohong dan merugikan orang-orang di sekitarnya. Dalam salah satu bukunya, Sa’id Hawwa (2002: 164-186) memerinci keluhuran budi Rasulullah Saw. yang sangat patut diteladani oleh umat Islam. Sa’id Hawwa menguraikan moralitas Nabi dalam hal kesabarannya, kasih sayangnya baik terhadap keluarga maupun umatnya, kemurahan hatinya, kedermawanannya, kerendahan hatinya, serta kesahajaannya. Moralitas Nabi inilah yang patut diteladani dan diterapkan dalam kehidupan umat Islam sehari-hari.

         Meneladani sifat-sifat Nabi Muhammad Saw. seperti di atas tidaklah gampang dan membutuhkan proses yang panjang. Dengan modal cinta dan taat kepadanya, kita akan mampu meneladaninya dalam kehidupan kita sehari-hari. Meneladani beliau secara sempurna jelas tidak mungkin, karena beliau digambarkan sebagai insan kamil(manusia sempurna) yang tidak ada bandingnya. Namun demikian, kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk meneladani sifat dan perilaku beliau, apa pun hasilnya.

Cara-cara yang dapat dilakukan untuk meneladani Rasulullah Saw sebagai karakteristik insan kamil di antaranya adalah sebagai berikut:

1.      Kita harus selalu bertaubat kepada Allah Swt. atas segala dosa dan kesalahan yang kita lakukan setiap hari. Sebagai manusia biasa kita harus menyadari bahwa kita selalu berbuat kesalahan dan dosa baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia. Rasulullah Saw. yang jelas-jelas tidak memiliki dosa saja selalu memohon ampun (beristighfar) dan bertaubat kepada Allah. Karena itu, jika kita tidak mau bertaubat kepada Allah, berarti kita tidak menyadari sifat kemanusiaan kita dan kita termasuk orang-orang yang sombong.

2.      Sedapat mungkin kita harus dapat menjaga amanat yang diberikan oleh Allah kepada kita selaku manusia. Amanat apa pun yang diberikan kepada kita, harus kita lakukan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemberi amanat tersebut. Karena itu, apa pun aktivitas yang kita lakukan, jangan sampai kita menyimpang dari aturan-aturan yang sudah berlaku sesuai tuntunan Alquran dan sunnah Nabi. Kita harus berusaha menjaga amanat ini sebagaimana Rasulullah yang tidak pernah berkhianat walau sekali pun.

3.      Kita juga harus selalu memelihara sifat jujur dalam keseharian kita. Jujur   merupakan sifat yang sangat mulia, tetapi memang sulit untuk diwujudkan. Terkadang orang dengan sengaja untuk tidak berbuat jujur dengan alasan bahwa jujur akan mengakibatkan hancur. Karena itu, dewasa ini kejujuran sulit ditemukan di tengah-tengah peradaban manusia yang semakin maju. Orang berusaha untuk mengesahkan perilaku tidak jujur. Seandainya kejujuran ini terpelihara dengan baik, maka para penuntut dan pembela hukum di negeri ini tidak akan terlalu sulit untuk menerapkan dan mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Kenyataannya, sebagian besar orang tidak mau berbuat jujur, sehingga seringkali orang yang jujur malah menjadi hancur (akibat disalahkan). Rasulullah selalu berbuat jujur tidak hanya kepada para sahabatnya tetapi juga kepada lawan-lawannya. Dan inilah yang merupakan kunci keberhasilan Rasulullah dalam misi risalah dan kenabiannya.

 

BAB III

PENUTUP

 

A. Kesimpulan

     Berdasarkan uraian pembahasan diatas maka dapat disimpulkan:

1.      Insan Kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata:  Insan dan kamil. Secara harfiah, Insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, Insan Kamil berarti  manusia yang sempurna. Pengertian insan kamil dikemukakan oleh beberapa tokoh tasawuf yaitu   antara lain oleh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi,  ‘Abd Al-Karim Al-Jilli ,dan Muhamad Iqbal.

2.      Karakteristik-karakteristik atau ciri dari insan kamil yaitu antara lain yaitu keimanan, ketakqwaan,keadaban, keilmuan,ketertiban, kegigihan dalam kebaikan dan kebenaran, pesaudaraan,perspakatan dalam hidup dan perpaduan dalam ummah.

3.      Keteladan Nabi Muhammad SAW memang sudah diskenario Allah sejak semula dalam rangka menjadi “uswah hasanah”. Sementara kita bisa melihat bukti tentang rencana Allah   tersebut dalam prjalanan hidup beliau sejak lahir yang bisa dibaca dalam kitab-kitab sejarah maupun “sirah nabawiyyah” (perjalanan hidup kenabian). Keteladanan dari nabi Muhammad SAW yang dapat kita teladani antara lain kecerdasan Nabi Muhammad SAW, Nabi Muhammad sebagai pendidik ulung, dan Nabi Muhammad SAW sebagai Spiritualitas ideal.

4.      Meneladani sifat-sifat Nabi Muhammad Saw.tidaklah gampang dan membutuhkan proses yang panjang. Dengan modal cinta dan taat kepadanya, kita akan mampu meneladaninya dalam kehidupan kita sehari-hari. Meneladani beliau secara sempurna jelas tidak mungkin, karena beliau digambarkan sebagai insan kamil(manusia sempurna) yang tidak ada bandingnya. Namun demikian, kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk meneladani sifat dan perilaku beliau, apa pun hasilnya.

B. Saran

Dengan adanya materi tentang meneladani Rasulullah SAW sebagai karakteristik insan kamil kita diharapkan dapat belajar dari sifat-sifat dan keteladanan Rasulluh agar beusaha menjadi manusia yang lebih baik seperti karakteristik insan kamil pada diri Rasulullah SAW tersebut.

Sebagai pemateri, penulis berharap pembaca dapat mengimplementasikan materi yang ada dalam makalah di kehidupan sehari- hari agar menjadi insan yang berakhalak mulia dengan meneladani sifat- sifat atau karakter Rasulullah SAW.