Hakikat Iman, Islam, Ihsan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam agama Islam memiliki tiga tingkatan yaitu Islam,
Iman, Ihsan. Tiap-tiap tingkatan memiliki rukun-rukun yang membangunnya.
Jika
Islam dan Iman disebut secara bersamaan, maka yang dimaksud Islam adalah
amalan-amalan yang tampak dan mempunyai lima rukun. Sedangkan yang dimaksud
Iman adalah amal-amal batin yang memiliki enam rukun. Dan jika keduanya berdiri
sendiri-sendiri, maka masing-masing menyandang makna dan hukumnya tersendiri.
Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai atau dilandaskan pada aqidah da syariat Islam disebut Ihsan. Dengan demikian akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul karimah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan hakikat Iman ?
2.
Apakah yang dimaksud dengan hakikat Islam ?
3.
Apakah yang dimaksud dengan hakikat Ihsan ?
4.
Bagaimana korelasi antara Iman, Islam, dan Ihsan ?
C.
Tujuan Rumusan Masalah
1.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan
hakikat Iman.
2.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan
hakikat Islam.
3.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan
hakikat Ihsan.
4.
Mengetahui korelasi antara Iman, Islam, dan
Ihsan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat
Iman
Iman adalah keyakinan
yang menghujam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa dicampuri keraguan
sedikitpun. Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri adalah percaya kepada
Alloh, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya, hari akhir dan beriman
kepada takdir baik dan buruk. Iman mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan,
amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh. Iman bertambah dengan
ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada
Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih umum dari pada cakupan Islam, karena ia
mencakup Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai keImanan kecuali jika
seorang hamba telah mamapu mewujudka keislamannya. Iman juga lebih khusus
dipandang dari segi pelakunya, karena pelaku keimanan adalah kelompok dari
pelaku keIslaman dan tidak semua pelaku keIslaman menjadi pelaku keImanan,
jelaslah setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin
Keimanan tidak
terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keImanan dan salah satu indikasi
yang terlihat oleh manusia. Karena itu Alloh menyebut Iman dan amal soleh
secara beriringan dalam Qur’an surat Al Anfal ayat 2-4 :
Allah Subhannahu wa
Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang jika disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya,
bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal,
(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari
rizki yang kami berikan kepada me-reka. Itulah orang-orang yang beriman dengan
sebenar-benar-nya.” (Al-Anfal: 2-4)
Keimanan memiliki satu
ciri yang sangat khas, yaitu dinamis. Yang mayoritas ulama memandang keImanan
beriringan dengan amal soleh, sehinga mereka menganggap keImanan akan bertambah
dengan bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada sebagaian ulama yang melihat
Iman berdasarkan sudut pandang bahwa ia merupakan aqidah yang tidak menerima
pemilahan (dikotomi). Maka seseorang hanya memiliki dua kemungkinan saja:
mukmin atau kafir, tidak ada kedudukan lain diantara keduanya. Karena itu
mereka berpendapat Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.
Iman adakalanya
bertambah dan adakalanya berkurang, maka perlu diketahui kriteria bertambahnya
Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu:
1)
Diyakini dalam hati
2)
Diucapkan dengan
lisan
3)
Diamalkan dengan anggota tubuh.
Sedangkan dalam Islam
sendiri jika membahas mengenai Iman tidak akan terlepas dari adanya rukun Iman
yang enam, yaitu:
1. Beriman kepada Allah Swt
Yakni beriman kepada rububiyyah Allah
Swt, maksudnya : Allah adalah Tuhan, Pencipta, Pemilik semesta, dan Pengatur
segala urusan, Beriman kepada uluhiyyah Allah Swt, maksudnya: Allah
sajalah tuhan yang berhak di sembah, dan semua sesembahan selain-Nya adalah
batil, iman kepada Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya maksudnya: bahwasanya Allah
Swt, memiliki nama-nama yang mulia, dan sifat-sifat-Nya yang sempurna serta
agung sesuai yang ada dalam Al-quran dan Sunnah Rasul-Nya.
2. Beriman kepada malaikat
Malaikat adalah hamba Allah
yang mulia, mereka diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya, serta
tunduk dan patuh menta’ati-Nya, Allah telah membebankan kepada mereka berbagai
tugas, Diantaranya adalah : Jibril tugasnya menyampaikan wahyu, Mikail
mengurusi hujan dan tumbuh-tumbuhan, Israfil meniup sangsakala di hari kiamat,
Izrail (malaikat maut), Raqib , Atit,mencatat amal perbutan manusia, Malik
menjaga neraka, Ridwan menjaga surga, dan malaikat-malaikat yang lain yang
hanya Allah Swt yang dapat mengetahuinya.
3. Beriman kepada kitab-kitab
Allah yang Maha Agung dan Mulia
telah menurunkan kepada para Rasul-Nya kitab-kitab, mengandung petunjuk dan
kebaikan. Diantaranya: kitab taurat diturunkan kepada Nabi Musa, Injil
diturunkan kepada Nabi Isa, Zabur diturunkan kepada Nabi Daud, Shuhuf Nabi
Ibrahim dan Nabi Musa, Al-quran diturunkan Allah Swt, kepada Nabi Muhammad Saw,
Dengannya Allah telah menasakh (menghapus) semua kitab
sebelumnya. Dan Allah telah menjamin untuk menjaga dan memeliharanya, karena ia
akan menjadi hujjah atas semua makhluk, sampai hari kiamat.
4. Beriman kepada para rasul
Allah telah mengutus
kepada maakhluk-Nya para rasul, rasul pertama adalah Nuh dan yang terakhir
adalah Muhammad Saw, dan semua itu adalah manusia biasa, tidak memiliki
sedikitpun sifat ketuhanan, mereka adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan
dengan kerasulan. Dan Allah telah mengakhiri semua syari’at dengan syari’at
yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw,yang diutus untuk seluruh manusia , maka
tidak ada nabi sesudahnya.
5. Beriman kepada hari akhirat
Yaitu hari kiamat, tidak ada hari lagi setelahnya, ketika Allah membangkitkan manusia dalam keadaan hidup untuk kekal ditempat yang penuh kenikmatan atau ditempat siksaan yang amat pedih. Beriman kepada hari akhir meliputi beriman kepada semua yang akan terjadi setelah itu, seperti kebangkitan dan hisab, kemudian surga atau neraka.
6. Beriman kepada (taqdir)
ketentuan Allah
Taqdir artinya beriman bahwasanya Allah telah
mentaqdirkan semua yang ada dan menciptakan seluruh mahluk sesuai dengan
ilmu-Nya yang terdahalu, dan menurut kebijaksanaan-Nya, Maka segala sesuatu
telah diketahui oleh Allah, serta telah pula tertulis disisi-Nya, dan Dialah
yang telah menghendaki dan menciptakannya. Demikianlah kriteria amalan hati dari pribadi
yang beriman, yang jika telah tertanam dalam hati seorang mukmin enam keimanan
itu maka akan secara otomatis tercermin dalam prilakunya sehari-hari yang
sinergi dengan kriteria keimanan terhadap enam poin di atas.
Jika Iman adalah suatu
keadaan yang bersifat dinamis, maka sesekali didapati kelemahan Iman, maka yang
harus kita lakukan adalah memperkuat segala lini dari hal-hal yang dapat
memperkuat Iman kembali. Hal-hal yang dapat dilakukan bisa kita mulai dengan
memperkuat aqidah, serta ibadah kita karena Iman bertambah karena taat dan
berkurang karena maksiat. Ketika Iman telah mencapai taraf yang
diinginkan maka akan dirasakan oleh pemiliknya suatu manisnya Iman, sebagaimana
hadits Nabi Muhammad saw. yang artinya:
“Tiga perkara yang
apabila terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya Iman:
Menjadikan Alloh dan RosulNya lebih dicintainya melebihi dari selain keduanya,
mencintai seseorang yang tidak dicintainya melainkan karena Alloh, membenci
dirinya kembali kepada kekufuran sebagaImana bencinya ia kembali dilemparkan ke
dalam api neraka.” (HR.Bukhori Muslim).
B.
Hakikat Islam
Islam bersal dari
kata, as-salamu, as-salmu, danas-silmu yang
berarti: menyerahkan diri, pasrah, tunduk, dan patuh. Berasal dari kata as-silmu atau as-salmu yang
berarti damai dan aman. Berasal dari kata as-salmu, as-salamu, dan as-salamatu
yang berarti bersih dan selamat dari kecacatan-kecacatan lahir dan batin.
Pengertian Islam
menurut istilah yaitu, sikap penyerahan diri (kepasrahan, ketundukan,
kepatuhan) seorang hamba kepada Tuhannya dengan senantiasa melaksanakan
perintahNya dan menjauhi laranganNya, demi mencapai kedamaian dan keselamatan
hidup, di dunia maupun di akhirat. Siapa saja yang menyerahkan
diri sepenuhnya hanya kepada Alloh, maka ia seorang muslim, dan barang siapa
yang menyerahkan diri kepada Alloh dan selain Alloh maka ia seorang musyrik,
sedangkan seorang yang tidak menyerahkan diri kepada Alloh maka ia seorang
kafir yang sombong. Dalam pengertian kebahasan ini, kata Islam
dekat dengan arti kata agama. Senada dengan hal itu Nurkholis Madjid
berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan hakikat dari
pengertian Islam. Dari pengertian itu, seolah Nurkholis Madjid ingin mengajak
kita memahami Islam dari sisi manusia sebagai yang sejak dalam kandungan sudah
menyatakan kepatuhan dan ketundukan kepada Tuhan, sebagaImana yang telah
diisyaratkan dalam surat al-A’rof ayat 172 yang artinya:
Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini
Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”.
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
“Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini
(keesaan Tuhan).
Berkaitan dengan Islam
sebagai agama, maka tidak dapat terlepas dari adanya unsur-unsur pembentuknya
yaitu berupa rukun Islam, yaitu:
Rukun pertama: syahadat (bersaksi) bahwa,
tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwasanya Muhammad
Rasulullah. Syahadat ini merupakan kunci islam dan pondasi bangunannya. Makna
syahadat la ilaha illallah ialah : tidak ada yang berhak disembah
kecuali Allah saja,dilah ilahi yang hak, sedangkan ilahi selainnya adalah batil
dan ilahi itu artinya sesuatu yang disembah. Dan makna syahadat: bahwasanya
Muhammad itu adalah Rasulullah ialah: membenarkan semua apa yang
diberitakannya, dan mentaati semua perintahnya srta menjauhi semua yang
dilarang dan dicegahnya.
Rukun kedua: shalat:Allah telah
mengsyari’atkan lima shalat setiap hari sebagai hubungana antara seorang muslim
dengan Tuhanya. Didalamnya dia bermunajat dan berdo’a kepada-Nya,disamping agar
menjadi pencegah bagi muslim dari perbuatan keji dan mungkar. Dan Alah telah
menyiapkan bagi yang menunaikanya kebaikan dalam agama dan kemantapan iman
serta ganjaran,baik cepat maupun lambat.Maka dengan demikian seorang
hamba akan mendapatkan ketenangan jiwa dan kenyamanan raga yang akan membuatnya
bahagia di dunia dan akhirat.
Rukun ketiga: Zakat yaitu sedekah yang
dibayyar oleh orang yang memiliki harta sampai nishab (kadar tertenrtu)
setiap tahun,kepada yang berhak menerimanya seperti kaum fakir dan
lainya,diantara yang berhak menerima zakat.Zakat itu tidak di wjibkan atas
orang fakir yang tidak memiliki nishab,tapi hanya di wajibkan atas kaum kaya
untuk menyempurnakan agama dan islam mereka,meningkatkan kondisi dan akhlak
mereka,menolak segala balak dari mereka dan harta mereka,mensuccikan mereka
dari dosa,disamping sebagai bantuan bagi orang-orang yang membutuhkan dan fakir
diantara mereka,serta untuk memenuhi kebutuhan keseharian mereka,sementara
zakat hanyalah merupakan bagian kecil sekali dari jumlah harta dan rizki yang
diberikan Allah kepada mereka.
Rukun keempat: Puasa yaitu selama satu
bulan saja setiap tahun,pada bulan ramadhan yang mulia,yakni bulan kesembilan
dari bulan-bulan hijriyah.Kaum muslimin secara keseluruhan serempak meninggalkan
kebutuhan-kebutuhan pokok mereka,makan,minum,dan jimak di siang hari mulai
terbit fajar sampai matahari terbenam.Dan semua itu akan di ganti oleh Allah
bagi mereka berkat karunia dan kemurahan-Nya,dengan penyempurnaan agama dan
iman mereka,serta peningkatan kesempurnaan diri,dan banyak lagi ganjaran dan
kebaikan lainya,baik di dunia maupun di akhirat yang telah di janjikan Allah
bagi orang-orang yang berpuasa.
Rukun kelima: Haji yaiu menuju masjidil
haram untuk melakukan ibadah tertentu. Allah mewajibkan atas orang yang mampu
sekali seumur hidup,Pada waktu itu kaum muslimiin dari segala penjuru berkumpul
di tempat yang paling mulia dimuka bumi ini,menyembah tuhan yang satu,memakai
pakaian yang sama,tidak ada perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin,antara
si kaya dan si fakir dan antara yang berkulit putih dan berkulit hitam.Mereka
semua melaksanakan bentuk-bentuk ibadah tertentu,yang terpenting diantaranya
adalah: wukuf di padang arafah,tawaf di ka’bah,kiblatnya kaum muslimin,dan sa’i
antara bukit shafa dan marwah.
C. Hakikat Ihsan
Ihsan berarti berbuat
baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat
baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan perilaku yang
sesuai atau dilandaskan pada aqidah dan syariat Islam disebit Ihsan. Dengan
demikian akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang
lebih besar yang disebut akhlaqul karimah.
Adapun dalil mengenai
Ihsan dari hadits adalah potongan hadits Jibril yang sangat terkenal (dan
panjang), seperti yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ketika nabi ditanya
mengenai Ihsan oleh malaikat Jibril dan nabi menjawab:
…أَنْ تَعْبُدَ اللّهَ
كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإنَّهُ يَرَاكَ…
“…Hendaklah engkau
beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihatNya. Tapi jika engkau tidak
melihatNya, maka sesungguhnya Alloh melihatmu…..
Hadits tersebut
menunjukan bahwa untuk melakukan Ihsan, sebagai rumusnya adalah memposisikan
diri saat beribadah kepada Alloh seakan-akan kita bisa melihatNya, atau jika
belum bisa memposisikan seperti itu maka posisikanlah bahwa kita selalu dilihat
olehNya sehingga akan muncul kesadaran dalam diri untuk tidak
melakukan tindakan selain berbuat Ihsan atau berbuat baik.
D.
Korelasi Iman, Islam,
dan Ihsan
Diatas telah dibahas
tentang ketiga hal tersebut, disini, akan dibahas hubungan timbal balik
antara ketiganya. Iman yang merupakan landasan awal, bila diumpamakan
sebagai pondasi dalam keberadaan suatu rumah, sedangkan islam merupakan entitas
yang berdiri diatasnya. Maka, apabila iman seseorang lemah, maka islamnya pun
akan condong, lebih lebih akan rubuh. Dalam realitanya mungkin pelaksanaan
sholat akan tersendat-sendat, sehingga tidak dilakukan pada waktunya, atau
malah mungkin tidak terdirikan. Zakat tidak tersalurkan, puasa tak terlaksana,
dan lain sebagainya. Sebaliknya, iman akan kokoh bila islam seseorang
ditegakkan. Karena iman terkadang bisa menjadi tebal, kadang pula menjadi
tipis, karena amal perbuatan yang akan mempengaruhi hati. Sedang hati sendiri
merupakan wadah bagi iman itu. Jadi, bila seseorang tekun beribadah, rajin
taqorrub, maka akan semakin tebal imannya, sebaliknya bila seseorang
berlarut-larut dalam kemaksiatan, kebal akan dosa, maka akan berdampak juga
pada tipisnya iman. Dalam hal ini, sayyidina Ali pernah berkata :
قال علي كرم الله وجهه إن الإيمان ليبدو لمعة
بيضاء فإذا عمل العبد الصالحات نمت فزادت حتى يبيض القلب كله وإن النفاق ليبدو
نكتة سوداء فإذا انتهك الحرمات نمت وزادت حتى يسود القلب كله
Artinya : Sahabat Ali kw.
Berkata : “sesungguhnya iman itu terlihat seperti sinar yang putih,
apabila seorang hamba melakukan kebaikan, maka sinar tersebut akan tumbuh
dan bertambah sehingga hati (berwarna) putih. Sedangkan kemunafikan terlihat
seperti titik hitam, maka bila seorang melakukan perkara yang diharamkan, maka
titik hitam itu akan tumbuh dan bertambah hingga hitamlah (warna) hati”.
Adapun ihsan, bisa
diumpamakan sebagai hiasan rumah, bagaimana rumah tersebut bisa terlihat mewah,
terlihat indah, dan megah. Sehingga padat menarik perhatian dari banyak pihak.
Sama halnya dalam ibadah, bagaimana ibadah ini bisa mendapatkan perhatian dari
sang kholiq, sehingga dapat diterima olehnya. Tidak hanya asal menjalankan
perintah dan menjauhi larangannya saja, melainkan berusaha bagaimana amal
perbuatan itu bisa bernilai plus dihadapan-Nya. Sebagaimana yang telah
disebutkan diatas kedudukan kita hanyalah sebagai hamba, budak dari tuhan,
sebisa mungkin kita bekerja, menjalankan perintah-Nya untuk mendapatkan
perhatian dan ridlonya. Disinilah hakikat dari ihsan.
E. Membangun Argumen tentang Karakteristik Insan
Kamil dan Metode Pencapaiannya
1. Karakteristik
Insan Kamil
Insan
kamil bukanlah manusia pada umumnya. Ibn Araby (Takeshita, 2005: 131)
menyebutkan adanya dua jenis manusia, yaitu insan kamil dan monster bertubuh
manusia. Maksudnya, jika tidak menjadi insan kamil, maka manusia akan menjadi
monster bertubuh manusia. Pandangan Araby ini mungkin didasarkan atas Al-Quran
yang memang memvonis manusia sebagai makhluk yang rendah dan negatif, yakni:
memusuhi rasul, penantang agama yang paling keras, zalim dan bodoh (tidak tahu
agama yang benar), kikir dan melupakan Tuhan (tidak menjalankan agama
sebagaimana petunjuk Allah dan rasul-Nya, melainkan lebih memperturutkan hawa
nafsunya), suka berkeluh kesah dan banyak berdoa (ingin segera dihilangkan
kesusahannya), padahal manusia diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk dan struktur
yang sebaik-baiknya (mempunyai potensi ber-Tuhan dan taat beragama), tetapi
faktor nafsu dan dunia menggelincirkannya ke tempat yang serendah-rendahnya,
bahkan lebih rendah dibandingkan dengan binatang ternak sekalipun.
Dengan
merujuk kepada seluruh ayat Al-Quran tentang “manusia” ternyata untuk dapat
selamat kembali kepada Tuhan (masuk surga-Nya) kita harus melepaskan
kemanusiaan (dalam arti basyar, al-insān, dan an-nās). Kita harus mencapai
derajat insan kamil. Untuk itu, kita
perlu mengenali struktur manusia agar kita dapat mengembangkan diri untuk
mencapai derajat insan kamil. Dengan merujuk kepada filsuf dan sufi muslim,
manusia itu terdiri dari empat unsur. Keempat unsur manusia dapat diuraikan
sebagai berikut.
a) Jasad
Keberadaannya di dunia dibatasi
dengan umur. Wujud nafsu manusia tidak lain adalah wujud jasad ini yang sengaja
diciptakan oleh Allah untuk diuji. Karena wujud jasad ini sebagai ujian, maka
oleh Allah jasad diberi hati (yakni hati sanubari) yang watak jasadnya persis
seperti iblis, yakni abā wastakbara (takabur) dan anā khairun minhu (ujub,
merasa lebih baik, bahkan dibandingkan dengan khalifah Allah sekalipun).
Kewajiban jasad adalah menjalankan syariat, yakni menjalankan ibadah badan dan
ibadah harta (seperti salat wajib, puasa Ramadan, membayar zakat, menunaikan
ibadah haji ke Baitullah bagi yang mampu, dan peduli memajukan lingkungan).
b) Hati nurani
Letaknya tepat
di tengah-tengah dada. Tandanya ”deg-deg”. Disebut juga dengan hati jantung.
Hati nurani dijadikan Allah dari cahaya, wataknya seperti para malaikat-Nya
yang rela sujud (patuh dan tunduk) kepada wakil-Nya Tuhan di bumi (QS
Al-Baqarah/2: 30-34). Jadi, hati nurani itu selalu tunduk dan patuh kepada
Allah dan rasul-Nya, seperti para malaikat yang telah dimampukan Tuhan untuk
menundukkan nafsu dan syahwatnya. Bukti adanya hati dalam diri manusia adalah
adanya cinta dan benci. Kewajiban hati adalah menjalankan tarekat, yakni
mencintai Allah dengan jalan mengingat-ingat-Nya (berzikir) dan menaati rasul-Nya.
c) Roh
Roh adalah daya
dan kekuatan Tuhan yang dimasukkan ke dalam jasad manusia, lalu menandai dengan
keluar-masuknya nafas, menjadi hidup seperti kita di dunia sekarang ini. Ciri
adanya roh adalah kita dihidupkan di dunia ini. Kewajiban roh adalah menjalankan
hakikat, yakni merasa-rasakan daya-kuat-Nya Tuhan. Maksudnya, bahwa yang
mempunyai daya (potensi) adalah Tuhan; yang mempunyai kekuatan adalah Tuhan;
yang bisa bergerak adalah Tuhan; yang bisa berbuat adalah Tuhan.
d) Sirr (rasa)
Letaknya di
tengah-tengah roh yang paling halus (paling dalam). Rasa inilah yang kembali ke
akhirat. Rasa adalah jati diri manusia. Bukti adanya rasa adalah kita dapat
merasakan berbagai hal dan segala macam (asin, pahit, getir, enak dan tidak
enak, sakit dan sehat, senang dan susah, sakit hati, frustrasi, dan lain-lain).
Kewajiban sirr (rasa) adalah mencapai ma’rifat billāh, yakni merasa-rasakan
kehadiran Tuhan; bahwa ternyata Tuhan itu dekat sekali dengan kita; bahkan
lebih dekat dibanding urat nadi di leher, atau lebih dekat dibandingkan dengan
jarak antara hitam dan putihnya mata kita (tentu bagi orang yang sudah mencapai
ma’rifat billāh).
Insan kamil
adalah manusia yang sudah menanggalkan karakter kemanusiannya yang rendah dan
telah mencapai tangga nafsu tertinggi (tangga nafsu ketujuh). Tujuh macam nafsu
dan tangga tersebut adalah sebagai berikut.
a) Nafsu
Ammārah
Ciri-ciri nafsu ammarah
antara lain sombong, iri-dengki, dendam, menuruti nafsu, serakah, jor-joran,
suka marah, membenci, tidak mengetahui kewajiban, akhirnya gelap tidak
mengenali Tuhan.
b) Nafsu
Lawwāmah
Ciri-ciri nafsu lawwamah
antara lain enggan, cuek, suka memuji diri, pamer, dusta, mencari aib orang,
suka menyakiti, dan pura-pura tidak mengetahui kewajiban.
c) Nafsu
Mulhimah
Ciri-ciri nafsu mulhimah
antara lain suka sedekah, sederhana, menerima apa adanya, belas kasih, lemah
lembut, tobat, sabar, tahan menghadapi kesulitan, dan siap menanggung betapa
beratnya menjalankan kewajiban.
d) Nafsu
Muthma`innah
Ciri-ciri nafsu muthma’innah antara lain suka
beribadah, suka bersedekah, mensyukuri nikmat dengan memperbanyak amal,
bertawakal, ridho
dengan ketentuan Allah, dan takut kepada Allah. Nafsu tangga ke-4 inilah start
awal bagi orang-orang yang berkehendak kembali kepada Tuhan (masuk surga-Nya).
e) Nafsu
Rādhiyah
Ciri-ciri nafsu radhiyahantara
lain pribadi yang mulia, zuhud, ikhlas, wira’i, riyādhah, dan menepati janji.
f)
Nafsu Mardhiyyah
Ciri-ciri nafsu mardhiyyah antara
lain bagusnya budi pekerti, bersih dari segala dosa makhluk, rela menghilangkan
kegelapannya makhluk, dan senang mengajak serta memberikan penerangan kepada
roh-nya makhluk.
g) Nafsu
Kāmilah
Ciri-ciri nafsu kamilah
antara lain dianugerahi’Ilmul-yaqīn, ’ainulyaqīn, dan ḫaqqul-yaqīn. Orang yang
sudah mencapai tangga nafsu tertinggi ini matanya akan terang benderang
sehingga bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang-orang yang
memiliki nafsu di bawahnya, terlebih-lebih lagi orangorang umum.
2. Metode
Mencapai Insan Kamil
Dalam
perspektif tasawuf, jalan untuk membentuk insan kamil haruslah mengikuti jalan
yang ditempuh oleh kaum sufi (yang lurus, bukan kaum sufi yang menyimpang).
Syarat pertama haruslah beriman (secara benar) dan berniat memproses diri
menuju martabat insan kamil. Misal, mengerjakan ibadah salat secara syariat dan
hakikat. Kewajiban syariatnya adalah melakukan gerakan disertai bacaan salat
secara serasi mulai takbiratul iḫrām hingga salām. Adapun kewajiban hakikatnya,
ketika menjalankan syariat itu keadaan hati hanya mengingat Allah.
Cara
konkretnya:
a) Sholat
Memulai sholat jika Tuhan yang akan disembah itu
sudah dapat dihadirkan dalam hati, sehingga ia menyembah Tuhan yang benar-benar Tuhan.
b)
Niat
karena Allah
Artinya, ibadah
sholat
yang didirikannya itu dilakukan dengan ikhlas karena Allah tanpa ada pamrih
dunia (ingin disebut orang beragama, ingin mendapat pujian, atau ada niat-niat
mencari dunia) dan tidak pula ada pamrih akhirat.
c) Hati hanya mengingat Allah
Selalu menjalankan sholat dan keadaan hati hanya
mengingat Allah.
d)
Menjauhi
perbuatan yang mungkar
Sholat yang telah didirikannya itu
dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Adapun jalan
utama yang perlu dilakukan untuk mencapai derajat insan kamil adalah jihād
akbar (jihad menundukkan nafsu dan syahwat). Imam Ghazali (1333 H: 4) dan kaum
sufi lainnya menguraikan tujuh macam nafsu (sekaligus tujuh tangga), yaitu:
ammārah, lawwāmah, mulhimah, muthma`innah, rādhiyah, mardhiyyah, dan kāmilah.
Jadi, upaya menundukkan nafsu itu adalah dengan menaiki (proses taraqqi)
ketujuh tangga nafsu tersebut hingga mencapai nafsu kamilah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Iman adalah keyakinan
yang menghujam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa dicampuri keraguan
sedikitpun. Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri adalah percaya kepada
Alloh, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya, hari akhir dan beriman
kepada takdir baik dan buruk. Iman mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan,
amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh.
2.
Pengertian Islam menurut istilah yaitu, sikap penyerahan diri
(kepasrahan, ketundukan, kepatuhan) seorang hamba kepada Tuhannya dengan
senantiasa melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya, demi mencapai
kedamaian dan keselamatan hidup, di dunia maupun di akhirat.
3.
Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut
muhsin berarti orang yang berbuat baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak
pada sikap jiwa dan perilaku yang sesuai atau dilandaskan pada aqidah dan
syariat Islam disebit Ihsan. Dengan demikian akhlak dan Ihsan adalah dua
pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul
karimah.
4. Iman yang merupakan
landasan awal, bila diumpamakan sebagai pondasi dalam keberadaan suatu
rumah, sedangkan islam merupakan entitas yang berdiri diatasnya. Maka, apabila
iman seseorang lemah, maka islamnya pun akan condong, lebih lebih akan rubuh. Sebaliknya,
iman akan kokoh bila islam seseorang ditegakkan. Karena iman terkadang bisa
menjadi tebal, kadang pula menjadi tipis, karena amal perbuatan yang akan
mempengaruhi hati. Sedang hati sendiri merupakan wadah bagi iman itu.
5. Insan
kamil adalah manusia yang sudah menanggalkan karakter kemanusiannya yang rendah
dan telah mencapai tangga nafsu tertinggi (tangga nafsu ketujuh). Dalam
perspektif tasawuf, jalan untuk membentuk insan kamil haruslah mengikuti jalan
yang ditempuh oleh kaum sufi (yang lurus, bukan kaum sufi yang menyimpang).
DAFTAR PUSTAKA
Busyra, Zainuddin Ahmad, Buku Pintar Aqidah Akhlaq
dan Qur’an Hadis, (Yogyakarta: Azna Books,
2010).
At-Tuwaijiri, Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah, Ensiklopedia
Islam Al-Kamil, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010).
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:Rajawali
Press, 2001).
Thanthawi, Ali, Aqidah Islam; Doktrin dan
Filosofis, (Pajang:Era Intermedia,2004).
Daradjat, Zakiah, dkk., Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996).